OpenAI pekerjakan buruh Kenya bergaji rendah agar ChatGPT menyenangkan dan tidak toksik

OpenAI pekerjakan buruh Kenya bergaji rendah.

Laporan terbaru mengungkapkan bahwa OpenAI, perusahaan di balik chatbot AI generatif ChatGPT, bergantung pada tenaga kerja alih daya asal Kenya yang dibayar di bawah $2 (Rp30.000) per jam.

Dalam investigasi yang dilakukan oleh Time, buruh bergaji rendah itu dipekerjakan untuk menciptakan sistem penyaringan AI yang akan disematkan dalam ChatGPT untuk memindai (scan) kata-kata toksik.

Detektor tersebut akan menyaring ChatGPT, yang sejauh ini telah memiliki satu juta pengguna, agar menyenangkan dan tidak menjadi toksik bagi audiensnya.

Bisa begitu karena, melansir Gizmodo (19/1), detektor tersebut dilaporkan dapat membantu menghapus berbagai hal toksik dari dataset besar yang digunakan untuk melatih ChatGPT.

Sementara pengguna akhir (end-user) menerima produk sanitasi yang telah disaring, para pekerja Kenya tersebut dapat dibilang bertindak sebagai “penjaga” AI untuk memindai berbagai potongan teks yang dilaporkan toksik.

Teks toksik yang dimaksud ialah mengenai pelecehan seksual anak, pembunuhan, penyiksaan, bunuh diri, dan lainnya secara detail.

Baca juga: Microsoft disebut akan investasi Rp155 triliun untuk ChatGPT dan ambil 49% sahamnya

OpenAI bekerja sama dengan perusahaan AS

OpenAI sendiri dilaporkan bekerja sama dengan perusahaan Amerika Serikat (AS) bernama Sama.

Pasalnya, perusahaan itu juga dikenal mempekerjakan buruh dari Kenya, Uganda, dan India untuk mengerjakan tugas pelabelan data atas nama raksasa Silicon Valley seperti Google dan Meta.

Sama sebenarnya merupakan moderator konten terbesar Meta di Afrika sebelum bulan ini, ketika perusahaan tersebut mengumumkan penghentian kerja samanya akibat kondisi ekonomi terkini.

Adapun Sama dan Meta saat ini merupakan subjek gugatan yang diajukan oleh mantan moderator konten yang menuduh kedua perusahaan tersebut telah melanggar aturan Kenya.

Dalam kasus OpenAI, para buruh Kenya dilaporkan hanya menghasilkan sekitar $1,32-2 (Rp20.000-30.000) per jam untuk perusahaan yang dikabarkan berpotensi memperoleh suntikan dana dari Microsoft sekitar $10 miliar atau sekitar Rp151,4 triliun.

Jika kabar tersebut benar-benar terjadi, Semafor mengatakan bahwa OpenAI akan bernilai $29 miliar atau Rp439 triliun. Meskipun begitu, perusahaan AI tersebut belum memberikan tanggapan apa pun.

Para buruh dengan gaji rendah merasa tersiksa

Sama seperti para moderator konten untuk raksasa Silicon Valley lainnya, para pekerja Sama mengaku mereka sering terpaksa membawa pulang pekerjaan mereka. 

Salah satu pekerja bahkan mengaku kepada Time bahwa ia mengalami penglihatan berulang setelah melihat penjelasan mengenai seorang laki-laki yang bersetubuh dengan seekor anjing. “Itu sangat menyiksa,” ungkapnya.

Secara keseluruhan, tim berisikan para pekerja tersebut dilaporkan ditugaskan untuk membaca dan melabeli 150-250 paragraf teks selama sembilan jam bekerja. 

Meskipun mereka bisa mendatangi konselor kesehatan yang disediakan, mereka mengaku merasa terluka secara mental karena pekerjaan tersebut.

Di sisi lain, Sama membantah jumlah angka yang harus dikerjakan tersebut dan mengatakan mereka hanya diharapkan memberi label pada 70 paragraf saja per shift.

Adapun dalam sebuah pernyataan kepada Time, OpenAI mengatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan para buruh Kenya itu dilakukan untuk memastikan sistem AI buatannya aman dari konten bias dan berbahaya.

“Mengklasifikasikan dan menyaring (teks dan gambar) berbahaya merupakan langkah penting untuk meminimalisir jumlah konten kekerasan dan seksual yang dimasukkan ke dalam pelatihan data dan menciptakan alat yang dapat mendeteksi konten berbahaya,” tulis OpenAI.

Sementara itu, Sama yang dilaporkan telah menandatangani tiga kontrak dengan OpenAI senilai $200.000 (Rp3 miliar), telah memutuskan untuk keluar dari dunia pelabelan data secara keseluruhan, setidaknya untuk saat ini.