LBH Jakarta tengah siapkan gugatan bagi Kominfo karena rugikan masyarakat

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tengah siapkan gugatan bagi Kominfo atas 213 aduan masyarakat terkait Permenkominfo 5/20 terkait Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, sejak Minggu (7/8). 

Pos Pengaduan #SaveDigitalFreedom dari LBH Jakarta yang diperuntukan bagi masyarakat yang dirugikan akibat pemblokiran sewenang-wenang maupun represi kebebasan di ranah digital, telah resmi ditutup pada Jumat (5/8).

Sebelumnya, penutupan akses sejumlah platform dan regulasi PSE Lingkup Privat Kominfo telah rugikan masyarakat terutama pekerja industri kreatif. Seperti diblokirnya PayPal yang menjadi dompet digital pembayaran klien lintas negara dan masyarakat dibuat kelimpungan untuk menarik dana yang tertahan, juga penutupan platform gim di mana para pegiat esport menggantungkan nasibnya.

Sejak #SaveDigitalFreedom dibuka pada 31 Juli 2022, total laporan di hari pertamanya mencapai 75 pengadu. Dari seluruh pengadu, terdapat dua perusahaan dan sisanya merupakan individu. 

Melansir pernyataan resmi LBH Jakarta, bidang pekerjaan para pengadu beragam mulai dari yang terbanyak adalah freelancer (48%), karyawan swasta (14%), developer (12%), mahasiswa/ pelajar (12%) hingga lainnya seperti dosen, musisi, dan entrepreneur.

Sebanyak 62 pengadu melampirkan bukti kerugian yang totalnya diestimasi mencapai Rp1.556.840.000,. Ada pun masalah yang paling banyak diadukan terkait dampak pemblokiran Paypal yang mencapai 64%.

Menurut pengacara LBH Jakarta Teo Reffelsen, aduan berkaitan tentang dugaan Kominfo yang telah berlaku sewenang-wenang membatasi kebebasan di ranah digital dengan regulasi tersebut. 

Tidak hanya itu, melansir laman resminya, Bantuan Hukum, LBH Jakarta turut menyoroti Pasal 53 ayat 1 UU PTUN jo Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan yang telah memberikan hak bagi siapa pun yang dirugikan atas tindakan pemerintahan untuk melayangkan gugatan. 

"Berdasarkan hal tersebut, LBH Jakarta bersama masyarakat akan mempersiapkan gugatan kepada Menkominfo untuk membatalkan tindakan dan kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang serta melanggar hukum dan HAM tersebut," jelas Teo di Kantor LBH Jakarta pada Minggu (7/8).

"Pemerintah tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan aspek kepentingan masyarakat sebelum melakukan tindakan pemblokiran," tambah Teo. Ia menjelaskan, yang dilakukan Kominfo sesungguhnya telah menyalahi asas umum pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 juncto Pasal 10 UU Administrasi pemerintahan.

Pemblokiran yang terjadi, menurut Teo, tidak sesuai dengan standar dan bagaimana Hak Asasi Manusia (HAM) seharusnya berjalan. Pasalnya, akses internet adalah hak asasi manusia yang terkait dengan hak atas informasi, hak kebebasan berekspresi, dan hak memperoleh kehidupan yang layak.

"Pembatasannya diatur secara limitatif dalam pasal 19 ayat 3 Kovenan Hak Sipol, Pasal 28J ayat 2 UUD 1945 hingga Prinsip Siracusa yang secara garis besar syaratnya harus diatur dalam undang-undang, tujuan yang sah, adanya keperluan, hingga mekanisme pembuktian yang transparan, adil dan imparsial melalui forum pengadilan," jelas Teo.

Tindakan pemblokiran, menurut Teo tidak memiliki dasar hukum dalam UU, melainkan hanya pada tahap peraturan pelaksana Permenkominfo 5/20, sehingga tindakan pemblokiran sesungguhnya telah melanggar standar HAM.

Pasal 40 ayat 2a, 2b UU ITE yang sering kali dicatut sebagai dasar hanya memberikan wewenang pemutusan akses bagi PSE yang memiliki muatan melanggar hukum, yang didasarkan pada putusan pengadilan. “Beberapa situs yang diblokir tidak pernah dinyatakan memiliki muatan yang melanggar hukum tersebut,” kata Teo.

Melansir pernyataan resmi LBH Jakarta, masyarakat tak hanya alami kerugian di atas, melainkan doxing yang dialami akibat menyampaikan protes dan penolakan terhadap pemblokiran dan pemberlakuan Permenkominfo 5/20.