Seminar “Lengan Terkembang” tumbuhkan wacana inklusi disabilitas di dunia seni rupa
Belakangan ini, pameran seni rupa di Indonesia menjadi suatu hal yang populer di banyak kota. Bahkan, sudah jadi hal umum melihat masyarakat datang pameran dan mengunggah di media sosial.
Akan tetapi, banyaknya atensi masyarakat ataupun pengunjung yang datang tidak bisa serta merta menjadikan pameran seni rupa sebagai ruang publik yang inklusif.
Pasalnya, ruang publik diartikan sebagai ranah di kehidupan sosial masyarakat, di mana tiap individu dapat menyampaikan aspirasi dan haknya, termasuk penyandang disabilitas.
Melansir siaran pers yang diterima TFR, sayangnya jika mengacu pada hal tersebut, pameran seni rupa yang ada sejauh ini belum bisa dikatakan sebagai ruang publik yang inklusif.
“Program pendidikan seperti pameran keliling, workshop, artist talk, dan lain-lain masih minim inovasi, dan belum mengutamakan penyandang disabilitas sebagai bagian dari masyarakat yang juga berhak mendapatkan pendidikan melalui seni,” ungkap Dr. Agung Hujatnika, Project Manager Open Arms.
Melihat hal ini, Open Arms pun konsisten untuk aktif mengkampanyekan inklusivitas terhadap penyandang disabilitas melalui program dan kegiatan yang beririsan dengan dunia seni rupa.
Melibatkan penyandang disabilitas sebagai partisipan ataupun fasilitatornya, program Open Arms bertujuan mengikis kesenjangan antara komunitas difabel dan non-difabel di dunia seni rupa.
Salah satunya adalah dengan seminar “Lengan Terkembang” yang merupakan mata kegiatan terakhir untuk memperdalam refleksi terhadap keseluruhan program Open Arms.
Dengarkan kisah para seniman penyandang disabilitas
Dalam proses menuju inklusivitas di dunia seni rupa Indonesia, salah satu hal yang perlu dilakukan ialah mengerti serta merasakan pengalaman dari para penyandang disabilitas.
Hal ini pulalah yang dilakukan oleh seminar “Lengan Terkembang” dengan mendatangkan beberapa seniman penyandang disabilitas sebagai pembicara untuk membagikan pengalaman mereka.
Salah satunya Hana Madness, yang menyandang disabilitas tidak terlihat (invisible disability), mengisahkan karya-karyanya yang mengusung tema-tema kondisi jiwa dan spektrum disabilitas mental.
Dalam karya-karyanya, Hana kerap menggunakan simbolisasi yang ia sebut sebagai “joy tears”. Simbolisasi ini berawal dari salah satu karyanya berjudul “Fallen” yang menggambarkan air mata.
Baca juga: Seni dan disabilitas, dukung pemberdayaan dan pentingnya ruang berkarya inklusif
Penggambaran ini berkaitan dengan peristiwa penerimaan kondisinya oleh keluarganya. Menurutnya, air mata itu kemudian seakan-akan berubah menjadi tangisan haru untuk merayakan sesuatu.
Selain Hana, pada seminar kali ini juga hadir Zakka Nurul Giffani Hadi yang merupakan teman Tuli untuk membagikan perjalanan kekaryaannya dan perjuangan dalam menempuh pendidikan sarjana seni.
“Sangat sulit untuk mengerti perkuliahan, tidak mudah dan kadang tidak mengerti apa yang disampaikan. Hal itu karena tidak ada juru bahasa isyarat dan hanya mengandalkan gerak bibir,” ujar Zakka.
Dalam kesempatan yang sama, akademisi dan praktisi seni Dr. Budi Irawanto menjelaskan bahwa seni dan wacana disabilitas saling bersinggungan serta mengingatkan betapa rentanya kondisi manusia.
Pasalnya, seni disabilitas pun dapat dimaknai sebagai karya seni yang dibuat oleh penyandang disabilitas, dan berdasar pada pengalaman serta kondisi disabilitasnya.
“Kita semua ini berpotensi sebagai penyandang disabilitas, terutama semakin masuk usia tua dan kondisi Indonesia yang beberapa daerah rawan bencana,” ujar Budi.
Demi jejaring yang promosikan inklusivitas di dunia seni
Meski mendengar berbagai suka dan duka tentang kenyataan dunia seni rupa yang belum cukup inklusi untuk para penyandang disabilitas, seminar ini tak ditutup dengan solusi.
Pasalnya, sejak awal seminar ini memang tidak bersifat memberikan solusi, melainkan untuk menumbuhkan wacana-wacana terkait inklusi bagi disabilitas agar terus berkembang.
“Cita-cita saya juga sebetulnya terbentuknya jejaring antar institusi seni yang mempromosikan inklusivitas,” ungkap Project Manager Open Arms Dr. Agung Hujatnika.
Agung pun melanjutkan, “Bagaimana membangun jejaring ini, dan hal ini masih terus harus didorong. Kemudian, ada modul yang memungkinkan festival, biennale, dan berbagai pameran seni rupa di Indonesia untuk berinovasi dalam perancangan program edukasi untuk para pengunjung disabilitas.”
Sekadar informasi, acara seminar yang dilakukan pada 23 Oktober 2023 di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung ini didanai melalui kerjasama antara proyek Open Arms (Voice & Yayasan Selasar Sunaryo) dan Program Penelitian, Pengabdian Masyarakat, dan Inovasi (P2MI) FSRD ITB.