Grafis Nusantara: Membangun mesin waktu budaya visual lewat stiker dan label lawas

Ditulis oleh Haiza Putti | Read in English

Siapa bilang stiker cuma jadi tempelan yang bikin senang bocil? Atau dekorasi tanpa makna yang menjamuri benda di sekitar kita, seperti laptop dan tumbler? Bagi sebuah kolektif bernama Grafis Nusantara, stiker dan label lawas menjadi mesin waktu untuk menyelami budaya visual Indonesia.

Efemera (ephemera) Indonesia layak digunakan sebagai sumber utama untuk penelitian lebih lanjut — yang menawarkan jendela unik ke dalam budaya masa lalu.” – Claudia Novreica, penulis dan periset Grafis Nusantara.

Sekiranya begitu Grafis Nusantara (GN) membuka pengantar tentang kolektifnya yang mengumpulkan visual yang hadir dalam keseharian, mulai dari kemasan rokok hingga gambar-gambar seksi dari stiker kota — mengadopsi istilah dari “Stiker Kota” (2008) terbitan ruangrupa — yang merefleksikan kekayaan visual vernakular yang sering “diabaikan, dilupakan, bahkan diremehkan” oleh narasi arus utama desain grafis. 

Kata “efemera” sendiri dapat diartikan sebagai benda penuh memori yang sebelumnya dinikmati dalam jangka waktu singkat. Kata ini juga dimaknai Maurice Rickards, pendiri The Ephemera Society, sebagai “dokumen kehidupan sehari-hari, seperti benda yang menggambarkan suasana masa lampau dengan cara yang tidak bisa dilakukan lewat pencatatan formal”.

Efemera dipilih GN sebagai penggambaran ketahanan produk grafis lawas yang sarat narasi penting dari kondisi sosial-budaya dan juga perkembangan desain di Indonesia, dalam mengarungi celah-celah pergerakan waktu.

Akan tetapi, siapakah Grafis Nusantara sebenarnya? Seperti apa stiker dan label lawas Indonesia yang dikumpulkannya? Serta bagaimana pengaruhnya bagi pengarsipan produk desain grafis di Indonesia?

Berawal dari hobi, berevolusi menjadi Grafis Nusantara

Grafis Nusantara ialah sebuah kolektif yang diinisiasi oleh seorang desainer grafis dan ilustrator asal Kalimantan Selatan, Rakhmat Jaka Perkasa. Jaka mulai mengumpulkan stiker dan label lawas di tengah masa kuliahnya pada 2013. Kala itu, karena kesulitan mencari referensi visual “keseharian” lawas dari Internet, Jaka mulai menelusuri sudut-sudut berbagai pasar di Yogyakarta, tempatnya kuliah, untuk mengumpulkan stiker dan label dari masa lampau.

Setelah arsipnya mulai menggunung, perlahan Jaka menyalinnya ke bentuk digital dan membagikannya lewat Instagram. “Jadi orang bisa nikmatin sebagai referensi (desain) atau bahan nostalgic. Akhirnya gua scan-scan-in manual, sendiri, gua unggah di Instagram,” ujar Jaka kepada TFR.

Foto: Koleksi stiker Grafis Nusantara

Akhirnya, pada 2019 nama Grafis Nusantara dibuat, pertama-tama dipublikasikan lewat laman Instagramnya yang membagikan tiap visual yang ditemukan. Setahun setelahnya, dengan bergabungnya Hendri Siman (project manager) dan Claudia Novreica (penulis dan periset), serta atas dukungan Evan Wijaya dari studio desain Kamengski, situs GN yang mewadahi arsip label dan stiker nusantara mulai disiarkan. 

Secara menyeluruh, arsip GN berasal dari era 1970-an hingga 1990-an, dengan kekhasan visual, tema, serta fungsi yang unik satu sama lain. Untuk stiker, mereka membaginya ke dalam sejumlah kategori, seperti erotisme, kartun, religi, teks bergambar, dan teks klasik. Sedangkan untuk label, pengelompokannya berdasarkan kategori makanan dan minuman, kesehatan, tekstil, rokok, dan teh. 

Pengembangan lainnya yang dilakukan GN ialah perilisan zine — kependekan dari magazine atau fanzine, sebuah publikasi mandiri — bertajuk “Grafis Nusantara Vol. 01” (2022) yang menampilkan koleksi arsip, dilengkapi dengan stiker, poster, dan kartu pos. Kolektif tersebut juga aktif mempublikasikan karyanya lewat partisipasinya dalam sejumlah pameran, seperti Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) ke-12 dan Kuala Lumpur Art Book Fair 2022.

Tentang stiker dan label lawas: Produk budaya visual penanda gejolak zaman

Meski belum jelas sejak kapan stiker keseharian mulai diproduksi di Indonesia, menurut “Stiker Kota” (2008), setidaknya lembar kertas dengan perekat itu mulai populer sejak 1970-an. Ia menjadi produk massal yang dekat dengan keseharian, “menyerap hasrat warga kota dan berbagai permasalahannya untuk ditampilkan kembali”. Lebih lanjut, stiker kota “mengomersialisasi citraan yang pernah dan sedang berlangsung dalam masyarakat kota, dan karena itu ia bersifat sementara (efemera)”.

Kebanyakan dari stiker itu dipasang di sudut-sudut kota, kendaraan publik seperti angkot, bemo, hingga bajaj, pintu masjid, dan etalase toko. Di balik kemeriahan visual dan teks yang kebanyakan jenaka, stiker kota memiliki peran komunikasi atas harapan juga keresahan hidup di kota besar. 

Dalam tulisan yang sama, ruangrupa mengklasifikasi konsumen stiker ke dalam dua kategori, yakni bebas tapi sopan, yaitu para konsumen yang doyan mengonsumsi stiker berslogan religi, dan para liberal yang berusaha mengekspresikan diri lewat ungkapan dan visual yang erotis dan kadang menggunakan bahasa kasar. 

Lantas, dari mana inspirasi di balik ke-random-an stiker urban tersebut? Ternyata, ruangrupa menemukan bahwa salah satu produsen utama stiker kota berasal dari desa Pakisaji di kabupaten Malang, Jawa Timur. Desain stiker mereka dikerjakan oleh tukang gambar yang berimajinasi tentang kota. Inspirasinya berasal dari agen penjual yang menyerap kesukaan dan harapan dari konsumen di kota. Kepopulerannya pun menghasilkan pertumbuhan jumlah produsen stiker, meluas hingga Bandung, Purwokerto, Solo, dan Cirebon.

Jaka menjelaskan, “Semisal di era itu ada film yang hit, nah tulisannya (di stiker) terinspirasi dari judul film, makanya aneh-aneh teks yang ada di stikernya.” Hal serupa disampaikan “Stiker Kota”, yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi informasi melalui televisi, Internet, dan media massa pasca-reformasi 1998 juga menyumbang perkembangan dalam khazanah visual dan teks stiker-stiker yang beredar di pasaran. Hasil pengamatan itu tampak jelas dalam sejumlah arsip stiker Grafis Nusantara yang menunjukkan perpaduan budaya populer dengan slogan lokal.

Foto: Koleksi label Grafis Nusantara

Berkenaan dengan perkembangan visual dan nama jenama pada label lawas, Hendri Siman mengatakan bahwa melalui arsip GN, ia menyadari betapa kreasi visual lampau memiliki gaya yang “cuek banget”. Mereka kerap menyandingkan visual dan tulisan yang bertolak belakang, yang juga tidak selalu relevan dengan jenis produknya, semisal “rokok cap batman”. Di sisi lain, label kumpulan GN kebanyakan berasal dari produsen lawas yang tak lagi beroperasi.

Praktik yang lebih “nyantai, memenuhi dahaga pengarsipan desain grafis Indonesia

Beberapa tahun silam, DGI Press menerbitkan sebuah buku bertajuk “Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (DGIDPDGD)” (2015) volume pertama yang ditulis oleh pendirinya, Hanny Kardinata. Dalam pengantar tulisan, dengan membumi Hanny menyampaikan bahwa pencatatan perkembangan desain grafis yang dilakukannya ditujukan untuk “melengkapi semangat untuk mendekatkan sejarah dengan generasi muda — para pemegang estafet pergerakan desain grafis di Indonesia”.

Pentingnya pencatatan — pengarsipan — bagi perkembangan desain grafis Indonesia turut disampaikan oleh Andriew Budiman, direktur visual dan grafis C2O dan Ayorek!, dalam responnya terhadap tulisan Hanny dalam “DGIDPDGD” yang dimuat dalam laman dgi.or.id. Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik pengarsipan, khususnya dalam desain grafis, “laksana menelusuri jalan yang sepi”. 

Stigma bahwa pengarsipan sejarah adalah pekerjaan “orang tua”, dan yang muda hanya bertugas untuk terus mencipta, turut dikatakan Andriew sebagai sumber minimnya pencatatan sejarah desain di Indonesia. “Paling sedikit sebagai generasi muda kita bisa menginisiasi aktivitas yang melibatkan khalayak umum dalam proses bersama-sama mempelajari sejarah desain grafis dengan cara yang lebih santai,” imbuh Andriew dalam tulisannya yang dipublikasikan di laman DGI.

Keresahan dari para desainer dan pengkaji senior tersebut seakan menunjukan bagaimana  kehadiran Grafis Nusantara dalam beberapa tahun ke belakang memberi harapan dalam kerja pengarsipan non-konvensional; lebih spesifik lagi, arsip digital. Anggapan itu juga tercermin lewat undangan yang didapat GN untuk menjadi tamu diskusi “It’s All Graphic 2022” oleh Wim Crouwel Institute at Pakhuis de Zwijger (Belanda), yang menyoroti praktik GN sebagai upaya “intervensi pengarsipan konvensional — terlembagakan — yang patriarkis dan kerap terjebak dalam pandangan kolonial”.

Terlebih lagi, Grafis Nusantara tak bekerja sendirian dalam mengarsip. Selain mengumpulkan stiker dan label dari kolektor di berbagai daerah, lewat metode yang disebut sebagai kurasi sosial, Grafis Nusantara membuka kesempatan bagi siapa pun untuk mendaftarkan arsip mereka ke dalam situsnya, yang kemudian dapat dinikmati publik lebih luas lagi. 


Artikel terkait


Berita terkini