Mengapa industri fesyen di Indonesia harus lebih fokus pada fesyen adaptif

Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English

Fesyen dalam sejarahnya terkenal sebagai industri yang mengandalkan praktik-praktik yang eksklusif, dan oleh karena itu, banyak kelompok yang tidak dipandang sebagai prioritas dalam industri fesyen, khususnya kelompok disabilitas. 

I sometimes wish that clothes don’t have too many buttons on them,” kata Ilma, seorang project assistant berusia 26 tahun dengan cerebral palsy dan pengguna kursi roda, ketika ditanya tentang pengalamannya dalam membeli pakaian. “Because I have problems with my motoric skills, jadi aku kalau pakai kancing itu agak sulit dan butuh waktu yang lebih lama.”

Kancing hanyalah salah satu dari berbagai masalah yang ia temukan dalam pakaian, karena menurutnya, pilihan pakaian untuknya sangat terbatas. Hal ini dikarenakan masih banyak pengusaha fesyen yang masih belum memasukkan kebutuhan kelompok disabilitas ke dalam desain mereka.

“Kadang-kadang aku mau beli dress-dress yang lucu tapi kemudian aku lihat zipper-nya ada di belakang dan jadi susah untuk memakainya karena aku tidak bisa menjangkaunya. Kemudian juga, karena aku pakai kursi roda, terkadang masalahnya adalah bajunya terlalu ketat jadi aku sulit untuk memakai dan melepasnya sehingga aku biasanya cuma mencari pakaian yang gampang untuk aku pakai,” jelasnya.

Permasalahan ini juga sering dialami orang-orang dengan disabilitas lainnya. Ilma membagikan cerita tentang temannya yang merupakan seorang disabilitas Tuli yang kesulitan mencari kerudung dengan bahan kain yang tidak mengganggu alat bantu dengarnya. “Mungkin karena bahan kainnya yang terlalu tebal, jadi dia harus selalu mencari cara untuk membentuk kerudungnya agar tidak mengganggu alat bantu dengarnya.”

Industri fesyen global membuka ruang bagi fesyen adaptif 

Dalam beberapa tahun terakhir, permasalahan ini telah secara perlahan ditanggapi oleh industri fesyen global dengan munculnya fesyen adaptif, yang merupakan suatu ide yang mengacu pada perubahan desain pakaian yang sudah ada dengan tujuan untuk membuat berpakaian lebih nyaman bagi orang-orang dengan disabilitas. 

Tommy Hilfiger merupakan salah satu jenama fesyen global yang pertama kali memasukkan desain adaptif ke dalam pakaian mereka ketika mereka meluncurkan lini fesyen adaptif mereka pada 2016. Dalam sebuah wawancara dengan Vogue Business, Hilfiger menjelaskan bagaimana pendekatan mereka terhadap fesyen adaptif adalah dengan menemukan cara untuk mengatasi berbagai tantangan berpakaian yang dialami orang-orang dengan disabilitas.

Sumber: tommy.com

Di situs web mereka, pakaian disortir berdasarkan solusi seperti kategori easy-closure untuk pakaian dengan kancing magnet atau ritsleting satu tangan, serta kategori seated-wear atau ramah prostetik yang terdiri dari pakaian dengan bahan elastis, fitur yang dapat disesuaikan, dan bukaan yang dapat diperluas.

Terdapat pula kategori comfort-wear yang mengacu pada pakaian yang terbuat dari bahan yang ramah sensorik seperti katun, linen, atau bambu, yang menurut Ilma merupakan fitur yang sangat penting mengingat kepekaan kulitnya akibat cerebral palsy.

Jenama global lainnya seperti Asos, Zalando, dan Nike telah mengikuti jejak Hilfiger dengan lini fesyen adaptif mereka masing-masing.

Pada 2021, Nike merilis rangkaian sepatu kets yang tidak memerlukan tali sepatu atau velcro untuk mengenakannya yang disebut “Go Flyease”. Pemakainya dapat dengan mudah memakai sepatu kets tersebut hanya dengan menginjaknya, karena sepatu kets tersebut memiliki gelang karet raksasa yang disebut tensioner serta engsel yang dipasang di sol yang dapat mengubah posisi sepatu dari terbuka menjadi tertutup. 

Sumber: nike.com

Proses pembuatan sepatu “Go Flyease ini tidak semudah cara pemakaiannya. Dalam serial video berjudul “behind the design”, para desainer yang membuat sepatu ini menjelaskan bahwa tantangan terbesar pada saat proses pembuatan adalah menciptakan alas yang kokoh dan menyeimbangkan bagian tensioner serta tetap menjaga desain agar tetap menarik secara visual. Hal ini membutuhkan perhitungan matematika yang rumit untuk menyempurnakannya.

Bagaimana teknologi mempengaruhi perkembangan fesyen adaptif

Sains dan teknologi juga berpengaruh besar dalam perkembangan fesyen adaptif di industri mode global karena memungkinkan adanya kemajuan pendekatan fesyen adaptif sehingga menjadi lebih dari hanya menyediakan pilihan pakaian yang nyaman bagi orang-orang dengan disabilitas, tetapi juga sebagai suatu bantuan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada 2021, perusahaan teknologi Jepang Ontenna berkolaborasi dengan label fesyen Anrealage untuk membuat perhiasan yang juga berfungsi sebagai alat bantu dengar yang menerjemahkan informasi pendengaran menjadi informasi visual dan sensorik.

Ketika mendeteksi suara, perhiasan ini akan menyala dan suatu cahaya akan bergerak mengelilingi labirin arsitektural yang merupakan bentuk dari perhiasan-perhiasan ini. 

Perhiasan ini muncul dalam tiga jenis perhiasan, yaitu hiasan kepala, sepasang anting-anting, dan kalung, yang dibuat menggunakan serat optik sehingga memungkinkannya untuk memancarkan cahaya. Kunihiko Morinaga, desainer di belakang Anrealage, menjelaskan dalam serial video “True Colours: The Future is Now” bahwa serat-serat optik itu dililitkan di atas benang sebelum ditenun hingga menjadi kain setipis kertas yang berbentuk seperti renda dan kemudian dibentuk sedemikian rupa hingga mencapai bentuknya yang avant-garde.

Label fesyen yang berbasis di London, CuteCircuit, juga menggunakan konsep serupa untuk membuat jaket berteknologi tinggi yang disebut the soundshirt”. Jaket tersebut memungkinkan orang dengan disabilitas Tuli merasakan musik melalui getaran sesuai dengan nada musik yang didengar.  

Jaket ini dibuat menggunakan sensor dengan teknologi haptic yang disematkan ke dalam kain. Walaupun mengenakan pakaian yang memiliki banyak sensor terdengar tidak nyaman, Hermon dan Heroda Berhane, desainer di balik label tersebut, mengatakan kepada Reuters bahwa sensor pada jaket tersebut terhubung dengan kain pintar dengan sistem mikroelektronik sehingga membuatnya tetap lembut, elastis, dan nyaman. 

Panggilan agar fesyen di Indonesia lebih inklusif

Pasar global untuk fesyen adaptif telah tumbuh secara eksponensial dan dilaporkan akan mencapai $300 juta pada 2028. Walaupun demikian, di tengah perkembangan di industri fesyen global tersebut, industri fesyen Indonesia terkesan sangat tertinggal karena kondisi keberadaan fesyen adaptif di pasar Indonesia yang mendekati titik nol.

Pasar fesyen adaptif di Indonesia masih tergolong kecil karena hanya diwakili oleh beberapa label fesyen, seperti Adaptive Clothing Indonesia. Konsumen seperti Ilma mengaku masih sulit menemukan label fesyen di Indonesia yang memiliki desain-desain yang adaptif. “Aku kira belum ada di Indonesia. Aku rasa orang-orang juga tidak tahu tentang fesyen adaptif karena tidak ada awareness-nya,” jelasnya.

Dengan lebih dari 7 juta orang dengan disabilitas yang aktif bekerja di Indonesia per 2021, kelompok disabilitas Indonesia menjadi pasar yang belum tersentuh dan yang sangat perlu diperhatikan oleh industri fesyen Indonesia.

Ilma melihat bahwa agar dapat menjadi lebih inklusif terhadap kelompok disabilitas, industri fesyen Indonesia perlu meningkatkan kesadaran disabilitasnya terlebih dahulu. “Karena kesadaran disabilitas di Indonesia masih rendah, kita harus meningkatkan kesadaran disabilitas terlebih dahulu sebelum kita sampai pada titik di mana fesyen dapat mengakomodasi kebutuhan kita.”

Dengan diserukannya permintaan terhadap industri fesyen Indonesia untuk meningkatkan aspek inklusivitasnya, Ilma juga mendorong kelompok disabilitas di Indonesia untuk menyuarakan suaranya, “teman-teman disabilitas juga harus mengadvokasi diri mereka sendiri dan membuat suara kita didengar oleh industri fesyen bahwa kita membutuhkan mode adaptif untuk juga hadir di sini.”




Artikel terkait


Berita terkini