Think pink: beragamnya wajah warna pink

Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English

Cantik, romantis, feminin, menenangkan, agresif, norak, kekanak-kanakan, sassy, dan memberikan kekuatan–satu yang sama dari kata-kata tersebut adalah semuanya dapat digunakan untuk menggambarkan warna pink.  

Tidak ada warna lain dalam roda warna yang memiliki makna dan konotasi yang lebih bernuansa daripada pink. “Pink paling sering digunakan untuk menggambarkan feminitas, tetapi pink juga sering dikaitkan dengan romansa, gairah, atau kegembiraan dan bahkan dapat dianggap kekanak-kanakan,” tutur Adlien Fadlia, dosen desain fesyen di Institut Kesenian Jakarta, kepada TFR.

Pink: simbol feminitas

Banyaknya konotasi yang dimiliki oleh warna pink ini dibedakan tergantung masing-masing tingkatan warnanya dan dipengaruhi oleh banyak hal lain, seperti budaya. Namun, satu konotasi yang tampaknya menentang semua aspek itu adalah konotasi pink sebagai warna yang feminin. Contoh sederhananya adalah penggunaan pink dan biru dalam gender reveal party yang secara instan mengkomunikasikan gender sang calon bayi. 

Adlien menjelaskan bahwa asosiasi pink dengan feminitas berasal dari persepsi yang melihat pink sebagai warna yang lembut, halus, dan manis–karakteristik yang paling sering disamakan dengan feminitas atau kualitas seorang wanita. Karena itu, banyak jenama yang sangat feminin yang menggunakan pink untuk tujuan promosi merek. Misalnya Victoria Secret, Barbie, atau Hello Kitty–jenama-jenama berkarakter “feminin” paling ikonik yang kita kenal. 

Percaya tidak percaya, pink tidak selalu dianggap sebagai warna yang feminin. Dalam budaya Barat, misalnya, profesor studi gender Dominique Grisard menulis dalam sebuah esai berjudul “In the Pink of Things: Gender, Sexuality, and Race” bahwa sebelum abad ke-20, warna pink dianggap sebagai versi warna merah dengan tingkatan warna yang lebih rendah. Warna merah pada masa itu dilihat sebagai warna yang kuat dan maskulin, dan oleh karena itu tidak jarang anak laki-laki memakai warna pink.

Kaye Blegvad, seorang ilustrator dan pencipta “The Pink Book: An Illustrated Celebration of the Color, from Bubblegum to Battleships”, mendukung argumen ini dari perspektif seni. Ia menjelaskan bahwa tokoh Anak Kristus pada lukisan dari masa renaissance sering digambarkan mengenakan jubah warna pink. Warna pink pada abad ke-17, 18, dan 19 juga digunakan untuk menggambarkan masa muda, bukan jenis kelamin seseorang. Hal ini terlihat dalam lukisan-lukisan dari era tersebut, di mana para pangeran dan bangsawan muda sering digambarkan mengenakan ansambel pink yang mewah.

Grisard lebih lanjut menulis bahwa baru sejak tahun 1950-an pink mulai menjadi penanda feminitas, dengan tokoh-tokoh seperti Mamie Eisenhower, mantan ibu negara Amerika Serikat yang begitu terobsesi dengan warna pink sehingga dia mengubah Gedung Putih menjadi istana pink, menjadi tokoh pemrakarsa pergeseran budaya ini. Korelasi antara warna pink dan feminitas semakin diperkuat dengan munculnya budaya pinkification girl pada 1990-an, di mana setiap aspek budaya populer, termasuk acara televisi, lagu, dan mainan untuk anak perempuan, dibungkus dengan warna pink.

Pink: simbol pemberontak

Yang menarik, selain asosiasi feminin, manis, dan romantis, terdapat sisi lain dari warna pink yang sering dianggap subversif. Rei Kawakubo, perancang busana avant-garde asal Jepang di balik jenama fesyen Comme Des Garcons, menggunakan warna pink untuk menyampaikan rasa pemberontakan dalam kreasinya. Untuk koleksi musim gugur 2016 CDG, Kawakubo menggunakan warna pink untuk membayangkan subkultur punk jika kelompok punk ada di abad ke-18.

Bukannya menggunakan kulit, studs, atau warna hitam, dalam imajinasi Kawakubo, seorang punk pada masa itu mengenakan kemeja vinil pink dengan hiasan frill warna pink yang mengalir dari bahu hingga pergelangan kaki atau mengenakan mantel pink dengan motif bunga mawar dengan detail yang menyerupai cangkang krustasea dan dalam siluet yang mengingatkan pada baju zirah tradisional Jepang.

Penggunaan warna pink oleh Kawakubo untuk menggambarkan subkultur punk bukannya tidak beralasan, mengingat banyak band punk dari tahun 1970-an seperti The Sex Pistol, Ramones, dan The Clash yang menggunakan warna pink fluorescent dalam gambar-gambar band mereka. Dalam budaya populer, aspek subversif warna pink terkadang digambarkan melalui narasi reklamasi kekuatan pribadi. Dalam film “Legally Blonde”, ciri-ciri karakter Elle Woods sebagai wanita muda yang menarik dan superfisial digambarkan melalui kostum pink dari ujung rambut hingga ujung kaki yang dikenakannya sepanjang film. Kisahnya dimulai ketika Elle Woods ditinggalkan oleh pacarnya karena dianggap tidak serius. Hal tersebut membuatnya mendaftar di sekolah hukum untuk membuktikan bahwa pacarnya tersebut salah. Terlepas dari keraguan yang dilemparkan terhadapnya, ia mampu mengatasi semuanya.

Sifat warna pink yang memberikan kekuatan juga terlihat dalam kehidupan nyata. Pada akhir 2016, sebuah video mengenai mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump berbicara tentang memegang alat kelamin wanita memicu kemarahan global. Kemarahan terhadap hal tersebut diwujudkan dalam topi rajutan berwarna pink dengan telinga kucing yang dikenal sebagai the pink pussyhat. Ribuan orang memakai topi tersebut selama Women's March 2017 di seluruh AS yang menciptakan lautan warna pink. The pink pussyhat kemudian menjadi lambang feminisme dan solidaritas perempuan.

Pink: simbol kegembiraan

Sekarang, terdapat nuansa pink lain yang menjadi bahan obsesi di industri fesyen, yaitu hot pink atau shocking pink, yang menggairahkan dan melambangkan rasa optimisme. 

Internet memberi tren ini nama Barbiecore. Tidak rumit untuk menjelaskan keterlibatan Barbie dalam hal ini, apalagi hot pink adalah warna favorit Barbara Millicent Roberts. Ia bahkan memiliki warna hot pink miliknya sendiri yang disebut Barbie pink. (Yang juga akan segera rilis: Margot Robbie sebagai pemeran utama dalam film live-action Barbie).

Tren ini mulai mendapatkan perhatian pada awal tahun ini setelah Pierpaolo Piccioli menghadirkan 48 tampilan monokromatik untuk koleksi musim gugur 2022 Valentino, di mana setiap bagian, termasuk aksesori dan sepatu, hadir hanya dalam warna hitam dan hot pink.

Pencarian barbiecore di Google dan Pinterest pun naik 90%, sementara di TikTok, #barbiecore telah dilihat lebih dari 100 juta kali. Begitu populernya hot pink hingga WGSN menyebutnya warna paling komersial tahun ini.

Warna ini pertama kali dipopulerkan oleh perancang busana legendaris Elsa Schiaparelli pada 1930-an. Ia membuat warna pink ini dengan mencampur warna magenta dengan sedikit warna putih. Ketika melihat warna tersebut untuk pertama kalinya, dia menggambarkan hot pink sebagai warna yang memberi kehidupan. Makna ini masih berlaku sampai hari ini.

Kualitas hot pink yang meningkatkan dopamin ini membuat warna ini sangat relevan dalam dunia fesyen saat ini. Kegelisahan yang datang karena era pasca-pandemi dengan perang yang sedang berlangsung, gejolak politik, dan perubahan iklim yang membayangi kita telah mengubah peran fesyen dalam masyarakat menjadi sumber pelarian.

Hot pink sangat cocok dalam peran itu karena memungkinkan kita mengekspresikan rasa  keceriaan dan sikap riang layaknya Barbie di tengah ketidakpastian. 

Sebuah pernyataan, bagaimanapun penyampaiannya

Apakah pink merupakan warna favorit kita, atau apakah kita melihatnya sebagai simbol suatu ekspresi, tak bisa dipungkiri pinkmemang mengundang perhatian. Mustahil rasanya untuk mengabaikan pink, karena begitu cantik dan kuat, sehingga sudah sewajarnya menarik perhatian. Kualitas tersebut cukup rasanya untuk menjadikan pinksebagai warna yang akan selamanya relevan di berbagai industri dan kultur pop.


Artikel terkait


Berita terkini