Dulu dipandang sebelah mata, kini semua akan jadi fanboy pada waktunya

Ditulis oleh Aghniya Hilya | Read in English

Jika membahas soal penggemar K-pop, kata kerja yang sering kali digunakan ialah fangirling, yang ditujukan untuk perempuan yang sedang mengagumi idolanya. Menariknya, dewasa ini laki-laki yang menjadi K-popers alias fanboys semakin banyak dan tak ragu menunjukkan jati dirinya.

Salah satu bukti nyatanya bisa dilihat di berbagai konser K-pop yang tahun ini sudah kembali menjamur. Baik di konser solo atau grup, idol group perempuan atau laki-laki, kita dapat menemukan fanboys dengan mudah. Pasalnya, penampilan mereka saat datang ke konser idolanya tak kalah modis dengan para fangirl.

Para fanboy menghadiri konser dengan outfit yang modis serta membawa atribut idola yang didukung, seperti lightstick hingga photocard bias yang disukainya.

Namun, apa yang membuat fanboys kini makin banyak dan mudah ditemui? Ya, mudah karena sekalipun kamu tak datang ke konser, ada banyak sosok fanboys yang fanboying lewat media sosial mereka.

Rupanya, menurut pendapat salah satu admin NCT Fanbase Indonesia, Ivy, pandemi COVID-19 cukup memengaruhi peningkatan jumlah penggemar NCT a.k.a NCTzen. Hal itu sejalan dengan semakin banyaknya laki-laki yang tadinya mungkin biasa saja dengan K-pop menjadi fanboys pada masa pandemi.

“Pertumbuhannya menurutku tampak signifikan dan cukup stabil. Apalagi sekarang ada certain member yang emang fanboy-nya banyak banget, kayak Mark NCT. Ketahuan dia biasnya siapa kan bisa lihat dari slogan yang dibawa pas konser sama abis fansign di-upload ke Twitter,” kata Ivy saat dihubungi TFR.

Stereotipe masih menghantui, tapi bisa jadi “bro” sang idola

Meski kini fanboying sudah menjadi hal yang lazim, ternyata sejak dulu omongan tidak mengenakkan soal fanboys seakan menjadi salah satu hal yang tak terelakkan. Ini dialami Glandy Burnama, fanboy grup Girls Generation (SNSD), BLACKPINK, hingga NCT Dream yang sudah menjadi K-poper sejak 2010.

“Dari kuliah, omongan miring kayak ‘cowok kok suka K-pop’, ‘kok bukan suka sepak bola’, bahkan enggak cuma (soal) gender tapi K-pop yang katanya alay, artisnya oplas, udah kenyang, sih. Dari dulu sampai sekarang omongan kayak gitu juga masih ada. Tapi ya sekarang aku, sih, udah biarin aja,” tuturnya.

Saat dihubungi TFR, Glandy yang suka cover tarian idolanya ini sudah tidak lagi ambil pusing jika orang lain tidak satu selera musik dengannya. Senada, Abim yang mengidolakan EXO hingga NCT juga memilih tidak menanggapi kontra dari teman-teman lelakinya saat awal terbuka sebagai fanboy.

Non-penggemar K-pop laki-laki berpandangan bahwa mengidolakan idola laki-laki itu tidak normal, namun Abim punya pemikiran bahwa fanboy K-pop tidak ada bedanya dengan laki-laki yang mengidolakan atlet sepak bola.

Lulusan jurusan tari SMKI Yogyakarta ini mengatakan, “Aku ada sedikit keyakinan pada waktu itu, ‘kalian semua bakal fanboying pada waktunya’. Sekarang kebukti, kan, being K-popers sudah bukan menjadi suatu aib atau hal yang perlu ditutup-tutupi. Enggak ada batasan lagi antara fangirl dan fanboy.”

Pasalnya, sudah ada beragam kisah fanboy yang berhasil menarik perhatian idolanya, entah secara online lewat fansign, saat konser, atau kegiatan sang artis di tempat publik. Bahkan, kalau sang penggemar cukup beruntung, interaksinya bukan cuma seperti penggemar dan idola, melainkan disapa akrab seperti “bro”.

Tidak ada beda dedikasi, semaksimal batas diri

Sama seperti K-popers lainnya, fanboys juga ikut berkontribusi mendukung idolanya dengan berbagai cara yang mereka bisa. Hal yang paling umum ialah membeli album dan merchandise serta datang ke konser.

Pasalnya, untuk melakukan hal-hal yang umum saja kini banyak tantangannya dan perlu usaha lebih, mulai dari persaingan yang sengit dan penipuan yang merajalela hingga harga yang melejit.

Namun di sisi lain, Rajasa, seorang ARMY a.k.a fanboy BTS, menegaskan bahwa ada banyak cara untuk mendukung idola, jika kita memang tidak punya kapasitas finansial yang berlebih. Meski ia tak memungkiri kalau menjadi fanboy bikin diri termotivasi untuk kerja keras memenuhi pundi-pundi.

“Totalitas setiap orang dalam mendukung idolanya beda-beda. Ada yang bisa beli merchandise banyak, tapi yang nggak bisa, nggak masalah. Kita masih bisa mendukung dengan memberikan waktu kita,” ujarnya. Toh, soal waktu, penggemar bisa membantu dalam meningkatkan streaming karya idolanya saat comeback.

Bahkan, dukungan dengan waktu bisa diwujudkan dalam bentuk aktif berkontribusi di fandom, ikut berbagai fan project atau kegiatan amal baik sebagai peserta atau panitia, cover lagu dan tarian dari idola atau grup kesukaan, hingga bikin karya seperti tulisan atau fan video tentang sang idola.

Melihat idola bahagia adalah fan service paling indah

Ketika kita sebagai penggemar memberikan dukungan, para idola akan memberikan fan service yang bentuknya kian beragam. Menariknya, baik Glandy, Abim, hingga Rajasa yang berasal dari fandom berbeda-beda, kompak menjawab tidak punya fan service spesifik yang dikejar atau diharapkan.

“Aku lebih menikmati apa yang mereka kasih. Aku justru suka kalau mereka ada special performance gitu yang unexpected karena kagetnya lebih berasa,” ujar Abim yang memulai perjalanannya sebagai penggemar EXO lalu menjadi SM stan.

Sementara, Rajasa mengaku bahagia ketika idolanya bisa menjadi diri mereka sendiri yang tidak harus menjaga citra, seperti yang kerap kali dilakukan Jin BTS di variety showRun BTS” yang tayang di Weverse.

Tak jauh berbeda, Glandy bilang, “Aku suka interaksi mereka sama fans, kayak cerita atau ngomong bahasa lokal. Terus lihat interaksi sesama member, gemes-gemesan, happy sendiri, aku udah ikut happy.

Lebih mencintai diri hingga memenuhi pundi-pundi

Orang-orang yang tidak mengerti soal K-pop memandang fanboys dengan sebelah mata, namun hal itu tidak mengubah fakta bahwa K-pop memberikan banyak hal dan efek positif bagi kehidupan para penikmatnya.

Glandy, Abim, dan Rajasa dengan antusias mengakui kepada TFR bahwa hidup mereka menjadi lebih baik setelah menjadi fanboy. Pasalnya, dengan menjadi seorang fanboy, mereka tidak sekadar menikmati lagu, lirik, atau tarian grup tertentu, melainkan belajar dari pengalaman suka duka idola-idola mereka.

“Hidupku rasanya sangat berat dan lagu-lagu mereka amat empowering. Sekarang hidupku lebih tenang dan aku merasa terberdayakan. Ketika lagi merasa enggak baik-baik aja, aku merasa punya teman, sesuatu yang menghangatkan karena lagu mereka juga heartwarming,” pungkas Glandy lugas.

Rajasa menambahkan bahwa dengan menjadikan Jin BTS biasnya, dirinya belajar bagaimana mencintai dirinya sendiri lebih dahulu. Maka itu, di tengah gempuran omongan miring tentang fandom ARMY, Rajasa memilih lingkaran yang positif karena itulah yang didapatnya dari BTS.

Sedikit berbeda dengan Glandy dan Rajasa, ketika ditanya soal pengaruh K-pop dalam hidupnya, Abim yang awalnya menyukai K-pop dari gaya musiknya, mengatakan bahwa kini gaya penampilannya juga mulai berubah.

“Sebagai K-fan aku juga pengen style-nya Korean biar keren. Terus, yang aku dapetin, dari iseng-iseng cover dance mereka, jadi banyak pengikut di TikTok terus jadi ada pemasukan buat uang jajan, juga dari endorsement,” cerita Abim, yang punya pengikut lebih dari 80 ribu di TikTok.

Terlepas dari stigma tidak mengenakkan yang mengikuti laki-laki penikmat K-pop, kehadiran fanboys berkembang dengan cukup pesat. Mereka pun tidak lagi ragu terbuka, menampilkan diri sebagai seorang K-poper, dan ikut berkontribusi dalam mendukung idolanya dengan berbagai cara. Mereka juga, dengan identitasnya sendiri, memperkaya budaya fandom idolanya untuk menjadi lebih inklusif dan terbuka.




Artikel terkait


Berita terkini