Eksklusif VOB: “Yang orang nggak tahu, momen di saat kita pengen mundur”
Ditulis oleh Haiza Putti | Read in English
Popularitas dan nama Voice of Baceprot (VOB) terus meningkat bahkan di mata dunia. Gaung dan semangat band yang berisi tiga perempuan asal Garut, Indonesia ini semakin lantang terdengar.
Ketiganya pun terus aktif merilis karya dan terbaru ialah single “PMS” pada November lalu. Tidak hanya itu, saat ditemui TFR di sela kesibukannya, VOB mengungkap mereka tengah menggarap karya lain.
Dalam kesempatan yang sama, TFR pun berbincang secara eksklusif dengan ketiga personil band metal asal Desa Singajaya itu membahas beragam kisah perjalanan ketiganya membangun VOB.
Pasalnya, Marsya dari posisi vokal dan gitar, Widi sang bassist, dan drummer Siti pertama menyelami musik ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada 2014 silam.
Hingga akhirnya, atas bimbingan guru dan mentor bernama Abah Erza, VOB terbentuk mulai 2017 lalu.
Menariknya, kata ‘baceprot’ dari nama band ini pun dipilih lantaran memiliki arti ‘berisik’ dalam Bahasa Sunda, dan dianggap menggambarkan tipe musik yang dimainkannya.
Sejak terbentuk, VOB telah menjadi sorotan dunia. Bahkan, sebuah majalah global Metal Hammer menyebut mereka sebagai “band metal yang dibutuhkan dunia hari ini.”
Akan tetapi, di balik kesuksesan VOB dan semangatnya melawan stigma lewat musik ‘berisik’, ada lika-liku perjalanan yang dirasakan ketiganya, dan boleh jadi tak diketahui publik atau orang lain.
Simak selengkapnya tentang kisah personal yang dikupas Marsya, Widi, dan Siti dalam tulisan di bawah ini! Mulai dari penyemangat bermusik, rasa lelah tak henti, sampai keinginan menyerah.
Baca juga: VOB rilis single “PMS”, rayakan kemerdekaan perempuan dari kekangan stereotip
Apa yang membuat VOB terus semangat untuk berjuang lewat musik?
Marsya mengujar, “Mungkin yang paling utama karena kita di musik itu seneng aja. Jadi, mau orang ngomong apa pun karena kita seneng, ya, kita jalanin aja. Terus yang kedua, karena pembuktian sih.”
Pasalnya, Marsya mengujar bahwa banyak dari keluarga, teman, dan orang-orang di sekitarnya yang kerap meragukan kemampuan VOB untuk dapat bermusik lantaran dianggap, “nggak bakal jadi apa-apa.”
Dalam karya-karya VOB, tersirat sejumlah pesan penuh makna yang relevan dengan kondisi sosial hari ini. Salah satunya pada single “PMS” yang mengungkap antipati, rasa tidak senang, hingga amarah VOB terhadap situasi perilaku diskriminatif dan penghakiman kepada perempuan.
“Aku juga dulu korban bully! ‘Hah? Cewek main drum?’ Waktu itu di acara pensi tuh bercandanya nggak lucu, kayak, ‘Siti, emang kaki kamu nyampe?’,” ujar drummer VOB, Siti, sembari terkekeh.
Apa pengalaman bersama penggemar yang paling berkesan?
Marsya membagikan cerita tentang sebuah komentar yang paling berkesan baginya. Ternyata, komentar itu ditemukan dalam kolom komentar YouTube single “God Allow Me Please to Play Music” (2021).
Ia menemukan sebuah komentar negatif yang menghina hijab VOB.
Akan tetapi, katanya, “Ada satu comment di bawahnya. Intinya, orang kayak gini nih yang awalnya bikin dia mau keluar dari agama Islam, karena banyak orang yang berkomentar setipe kayak gitu.”
Selanjutnya, fan itu mengaku bahwa ia “membatalkan niatnya karena dia lihat video klip kita dan lirik-lirik kita di lagu yang “God Allow Me..” itu.”
“Di situ aku speechless banget. Karena aku sebenernya selalu ragu dengan apa yang aku lakukan. Nah, ketika baca komentar itu, aku tersadar bahwa ternyata apa yang aku lakukan berpengaruh di kehidupan orang,” imbuh Marsya.
Apa saja tantangan dan pengorbanan berkarier di industri musik?
Dengan sigap Marsya menjawab, “Banyak yang dikorbankan sih, (terutama) masa remaja.” Pasalnya, ia merasa kariernya menuntutnya untuk “bisa dewasa sebelum waktunya”.
Selain itu, ada kalanya harus kehilangan momen-momen penting di keluarga mereka.
“Kita sempet ada momen di mana berjarak banget sama orang tua karena kita bermusik dan kehilangan momen penting orang-orang terdekat, kayak kakak aku menikah itu pas lagi tur di luar (negeri),” lanjut Marsya.
Apa yang masyarakat luas tidak tahu tentang perjalanan karier kalian?
“Prosesnya nggak bisa dibilang berat, (tapi) berat banget!”, ujar Marsya. Ketiganya mengaku bahwa keputusan untuk pindah dari kampung di Garut ke Jakarta memaksa mereka untuk terus beradaptasi.
Rasa ingin pulang, “cukup-cukupin uang bekal. Belum lagi, struggle sama mental health,” diakui Marsya menjadi beberapa tantangan utama yang dirasakan para personel VOB.
Di sisi lain, Widi mengujar bahwa kewajiban untuk memproduksi musik terbaru juga membawa tekanan tersendiri. Ia merasa harus terus berpikir, “gimana lagi nih, biar menarik supaya (pendengar) nggak bosan. Itu lumayan menguras tenaga… dan emosi,” tuturnya sambil tergelak.
Lebih lanjut, Siti juga bilang, “Yang orang nggak tau itu, momen di saat kita pengen mundur.”
Apa yang membuat VOB mengurungkan niat untuk mundur?
Menurut Siti, pikiran ingin mundir sering terlintas di pikirannya dan Widi.
“Aku suka ngerasa, capek, banyak tuntutan. Jadi kayak nggak siap, gitu. Kan waktu di kampung ngeband sesuka hati, senang-senang. Ya, kalau di sini, dipatok, ada target-targetnya. Terus, aku tuh kaget aja, kan atuh… baru keluar SMA. Langsung ke Jakarta, terus kerja, aku kayaknya nggak kuat deh,” tutur Widi.
Akan tetapi, Siti lanjut mengujar bahwa Marsya tidak pernah menyerah untuk “jadi penengah, karena VOB nggak bisa digantiin. Kalau keluar satu, VOB bubar,” ujar Siti.
Di sisi lain, Marsya menambahkan bahwa mereka bertiga selalu “bersama-sama saling menjaga mood masing-masing.”
Ada tantangan baru yang dihadapi setelah ‘mendunia’?
Marysa, Siti, dan Widi sama-sama sepakat bahwa setelah nyemplung ke industri musik dengan pindah ke Jakarta dan secara rutin tampil bahkan di panggung luar negeri, ada tantangan baru yang dihadapi.
Selain perkara tuntutan produksi musik baru, Siti mengujar kini dirinya merasakan “tuntutan harus multitalent atau harus perfect. Kalau di sini, kan, setelah masuk ke dunia industri, aku kan harus oke.”
“Kalau dulu, aku cuek, nggak mikirin baju. Jadi paling, kaus oblong doang, terus baju nggak harus bagus atau make up harus menarik, nggak. Tapi, kita kan sekarang harus enak dilihat dan didengar,” lanjut Siti.
Apa ‘pelarian’ kalian ketika penat dengan pekerjaan?
Ternyata, tak semua personel VOB mendengarkan musik sebagai kegiatan pelarian. Bahkan, Marsya mengakui, bahwa kini dirinya sudah jarang mendengarkan musik.
Karena kewajibannya kini berkisar di eksplorasi instrumen dan vokal, Marsya mengaku, “Ada titik di mana aku ngeliat gitar aja aku tuh udah pengen muntah. Saking setiap harinya.”
Berbeda dengan Marsya, Siti masih sering mengulik musik-musik terbaru, terutama lagu pop barat. Sedangkan Widi menghibur diri dan mengisi waktu luang dengan mendengarkan musik gamelan sunda.
“Serumah sama Widi berasa hajatan tiap hari. Dengerinnya, Sabilulungan (gamelan Sunda),” tutur Marsya sambil terkekeh.
Cita-cita Marsya, Siti, dan Widi selain bermusik?
Kepada TFR, Marsya mengaku bahwa salah satu cita-cita terbesarnya adalah untuk membangun sekolah. “Tapi bukan sekolah formal yang sekarang, tapi aku ingin mewadahi anak-anak yang dulu kayak aku. Jadi aku pengen bikin sekolah yang mewadahi hal yang disukai muridnya,” tuturnya.
Di sisi lain, Siti dan Widi berkeinginan yang lebih mirip, “Aku pengen punya brand bertiga, usaha, jadi musik bukan jadi yang utama. Karena kalau musik jadi yang utama kan kadang naik turun ya itu, omzet,” ujar Siti sembari tertawa.
“Pengen jadi pedagang, (soalnya) kalau usahanya besar, bisa memberdayakan orang-orang lain,” ujar Widi menambahkan.
Selanjutnya, Widi mengujar soal impian dan harapan dengan menjawab, “Semoga aku bisa lebih menyayangi dan menerima diri aku apa adanya. Karena kan aku nggak enakan. Seringnya kalau terjadi apa-apa di VOB, aku menyalahkan diri sendiri.”
Namun, di luar itu, ketiganya sama-sama ingin “VOB lebih produktif, kita yang menjalaninya tetap happy.”
One of the thought-provoking aspects about the restaurants under the Sarirasa Group is how they present their concept thoroughly, starting from the interior and exterior to the menu and employee uniforms.