Bagaimana pekerja kreatif perempuan di Indonesia mengarungi industri fesyen
Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English
Sebagai target konsumer utama industri fesyen, setiap jengkal kehidupan perempuan ditentukan oleh fesyen. Mulai dari bagaimana perempuan harus berpenampilan, merasa, atau bertindak, fesyen memiliki kontribusi. Namun, di balik itu semua, fesyen adalah industri yang didominasi pria. Dalam artikel ini, pekerja kreatif perempuan dari berbagai era menceritakan pengalaman dan tantangan mereka di industri mode Indonesia kepada TFR News.
Menjadi pekerja kreatif perempuan pada tahun 2000-an
“Saat itu industri fesyen belum seperti sekarang ini,” ujar Chitra Subyakto, seorang penata busana dan desainer ternama Indonesia, “belum banyak toko, butik, desainer, atau brand.”
Chitra memulai karirnya di dunia fesyen sebagai penata busana di majalah remaja Cosmogirl pada 2001. “Sarah Sechan yang waktu itu editor di sana, bilang kalau saya punya gaya yang unik, rambut saya dulu hijau dan saya suka padu-padankan semuanya, seperti encim dengan sepatu keds, jadi mereka pikir saya bisa jadi stylist di majalah remaja dan kemudian saya gabung dengan mereka.”
Karirnya terus berkembang dan ia sempat bekerja sebagai penata busana untuk beberapa film, seperti “Ada Apa Dengan Cinta 2” dan “Laskar Pelangi”, sebelum akhirnya mendirikan jenama fesyennya sendiri, yaitu Sejauh Mata Memandang.
Bagi Chitra, perbedaan utama antara industri fesyen dulu dan sekarang adalah jenis media yang digunakan. “Dulu majalah itu dikonsumsi oleh semua orang, jadi menyediakan suatu jalur yang agak mudah bagi orang untuk memasuki industri fesyen, berbeda dengan sekarang yang terasa lebih individualis karena media sosial.”
Maraknya majalah pada saat itu menciptakan industri fesyen yang lebih terpusat karena menjadi tempat di mana para pekerja kreatif bertemu dan memulai karir mereka. “Banyak pemilik toko atau butik yang mengirimkan koleksi terbaru mereka melalui faks kepada kami untuk ditampilkan. Mahasiswa fesyen juga sering mencari cara untuk bekerja di majalah karena begitu kerja di majalah, akan bertemu dengan koneksi di industri yang akan membantu karir kita.”
Walaupun ada jalur yang lebih jelas untuk masuk ke dunia fesyen, menjadi seorang perempuan di industri fesyen menghadirkan serangkaian tantangan, terutama yang berkaitan dengan kesenjangan mengenai kesempatan.
Menurut kajian yang dilakukan oleh CFDA, Glamour, McKinsey & Company pada 2018, hanya 14% posisi eksekutif di 50 jenama fesyen global yang dipegang oleh perempuan. Ketika ditanya apakah statistik ini mencerminkan keadaan industri fesyen di Indonesia saat itu menurut pengalamannya, Chitra mengamininya.
Namun, lebih lanjut ia menjelaskan bahwa meskipun lanskap industri fesyen saat itu didominasi oleh laki-laki, bukan berarti tidak ada tempat bagi pekerja kreatif perempuan. “Meskipun saya setuju dengan itu, ketika saya bekerja di Cosmogirl, bos saya adalah seorang perempuan dan editornya sebagian besar terdiri dari perempuan. Saya juga pernah bekerja di concept store bernama Alun-Alun Indonesia di mana saya bekerja dengan banyak pekerja kreatif perempuan muda. Jadi menurut saya persentasenya saja yang belum seimbang.
Menjadi pekerja kreatif perempuan pada masa sekarang
Minimnya kesempatan bagi pekerja kreatif perempuan di industri fesyen menjadi alasan utama mengapa lima teman dari Yogyakarta membuat suatu kolektif kreatif perempuan bernama. Gina, Sari, Wangi, April, dan Ale, yang masing-masing adalah seniman audiovisual, ilustrator, dan penata busana, menciptakan Tutti Frutti tak lama setelah menyelesaikan kuliah pada 2019 sebagai cara untuk menciptakan peluang bagi diri mereka sendiri.
Menggabungkan rangkaian medium kreatif masing-masing, mereka memproduksi konten fesyen untuk jenama lokal, instalasi seni, atau karya audiovisual seperti video musik atau film dokumenter. Namun, yang membedakan adalah mereka berusaha agar 80% dari setiap kreasi mereka merupakan pekerjaan pekerja kreatif perempuan.
“Kita buat ini untuk menciptakan suatu peluang, tidak hanya untuk diri kami sendiri, tetapi juga untuk perempuan lain yang bekerja di industri kreatif juga,” jelas Gina. “Nggak cuman itu, kita juga mau memberikan safe space bagi perempuan dan juga setiap identitas gender lain yang ingin berkreasi,” tambah Ale.
Safe space adalah kata kunci yang perlu disoroti karena mereka semua pernah mengalami suatu bentuk diskriminasi berbasis gender di tempat kerja mereka saat bekerja dengan rekan laki-laki mereka.
“Kalau aku sebagai stylist, aku sering merasa tidak disertakan dalam proses kreatif awal. Jadi, mereka biasanya hanya kasih aku konsepnya dan nyuruh aku untuk bikin looks-nya tanpa mempertimbangkan atau menanyakan ide atau pemikiran aku dulu,” jelas Ale. Gina dan Sari menambahkan pengalaman mereka yang sering mendengar lelucon atau komentar misoginis di tempat kerja mereka.
Namun, baik anggota Tutti Frutti maupun Chitra sepakat bahwa kini fesyen di Indonesia sudah mulai memperhatikan dan memperjuangkan pekerja kreatif perempuan. Misalnya, terkait peluang untuk perempuan, Chitra menilai saat ini sudah banyak jenama fesyen di Indonesia yang dijalankan oleh perempuan.
Hal yang sama diungkapkan oleh Gina, yang merasa bahwa industri fesyen Indonesia semakin terbuka dan isu ketidaksetaraan gender mulai sering ditonjolkan, yang membuatnya mendapatkan lebih banyak kesempatan dan dapat menggemakan pesan-pesan feminisme dalam karyanya.
Solidaritas perempuan dalam industri kreatif
Terdapat suatu kesamaan dari cerita Chitra Subyakto dan Tutti Frutti yang tak luput dari perhatian. Karena industri fesyen didominasi oleh laki-laki, para pekerja kreatif perempuan ini menemukan solidaritas di antara satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama.
Jika Tutti Frutti secara bersama-sama menciptakan jalur mereka sendiri ke dalam industri fesyen, Chitra selalu berusaha untuk menemukan cara untuk berkolaborasi dengan pekerja kreatif perempuan. “Di Sejauh Mata Memandang, setidaknya 80% dari kita terdiri dari perempuan dan berbagai orang dengan latar belakang seksualitas yang berbeda. Menurut saya itu terjadi secara organik saja, tetapi kita selalu secara conscious untuk open ke semua orang karena saya tidak pernah ingin membedakan,” jelasnya.
Chitra, sebagai salah satu tokoh yang mempromosikan praktik dan konsumsi fesyen yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan di industri fesyen Indonesia, sebelumnya juga pernah berkolaborasi dengan tokoh perempuan di bidang ini Salah satunya aktivis lingkungan Fawriza Farhan dalam sebuah proyek di mana untuk setiap pakaian dibeli dari Sejauh Mata Memandang, satu pohon ditanam di kawasan restoratif Leuser.
Chitra merasa kolaborasi antar-perempuan di industri kreatif sangat penting, karena masih ada norma-norma sosial yang merugikan perempuan. “Sebagai perempuan kita diajarkan untuk bersaing dengan satu sama lain, yang secara tidak sadar membuat perempuan merasa insecure atau kurang percaya diri.” Dia menambahkan, “Ini kenapa perempuan perlu lebih sayang dan mendukung perempuan lain. Terus juga semuanya akan terasa lebih mudah kalau dilakukan bersama-sama.”