Sarong reinvented: Bagaimana sarung dapat memajukan industri fesyen Indonesia
Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English
Pada 2019, Presiden Joko Widodo menetapkan 3 Maret sebagai Hari Sarung Nasional untuk merayakan sarung sebagai salah satu ciri khas budaya Indonesia.
Sarung merupakan suatu kain berbentuk silinder atau kain panjang yang dikenakan dengan cara dililitkan di dada atau pinggang. Di Indonesia, sarung sering dipakai untuk acara resmi atau adat, tergantung motif kain yang digunakan.
Namun, citra sarung yang mungkin paling terkenal dalam budaya lokal Indonesia adalah sebagai seragam santri dan kain bermotif kotak-kotak yang sering dikenakan oleh bapak-bapak untuk sholat di masjid atau meronda.
Hal ini sudah sejak lama menjadi arti sarung di Indonesia; semacam kostum yang dikenakan sebagai bagian dari suatu tradisi, yang menimbulkan persepsi bahwa sarung bukan termasuk item fesyen kontemporer.
Gerakan bertajuk “Sarong is My New Style” muncul untuk mengubah pandangan ini dengan harapan menjadikan sarung sebagai simbol fesyen kontemporer Indonesia.
Menjadikan sarung sebagai pilihan pakaian sehari-hari
Dimulai pada 2011 lalu, tujuan utama dari gerakan ini adalah mengajak masyarakat untuk mulai memakai sarung setiap hari. “Kebanyakan busana yang kita pakai kan pakaian Barat ya. Untuk bottom ada celana atau rok, ya kenapa kita enggak kita pakai sarung juga?” ujar Dina Midiani, salah satu pendiri gerakan tersebut, kepada TFR News.
Kegiatan ini sering membuat kampanye atau acara di mana busana wajibnya adalah sarung untuk menunjukkan kepada masyarakat bagaimana menggunakan sarung sebagai pilihan pakaian sehari-hari.
Dina membuat gerakan ini karena ia ingin memperkuat ekonomi kreatif Indonesia dengan bertumpu pada budaya lokal. Dari sekian banyak pilihan baju adat Indonesia, ia memilih sarung karena sifatnya yang fleksibel, bisa dikenakan dengan berbagai cara dan oleh siapa saja dengan gender apa pun.
Tidak hanya itu, menurut Dina, kain yang sering digunakan sebagai sarung di Indonesia, yaitu kain wastra, adalah kain yang sangat otentik dan dapat menjadi sesuatu yang baru untuk dibawa ke industri fesyen global.
Layaknya kilt, rok lilit kotak-kotak asli Skotlandia yang telah dimodernisasi oleh desainer kontemporer, Dina menilai sarung Indonesia bisa menjadi lambang fesyen kontemporer Indonesia di kancah global. “(Indonesia) ingin menjadi trendsetter dan pusat mode, tapi kita perlu menyumbangkan sesuatu (untuk fesyen) dan sarung bisa saja jadi untuk itu.”
Mengubah stigma sarung
Namun sebelum semua itu bisa tercapai, salah satu tantangan yang dihadapi gerakan ini adalah stigma seputar sarung. “Kami membuat FGD dengan media untuk mencoba melihat tanggapan mereka. Banyak yang mendukung ide ini, tapi ada juga yang menganggap sarung itu tidak fancy dan fashionable,” jelas Dina.
Mengubah perspektif ini sangat penting untuk keberhasilan gerakan ini. Inilah sebabnya mengapa gerakan ini terus mempromosikan sarung sebagai pakaian sehari-hari. “Kita ingin mengubah citra sarung, dari yang dianggap ndeso menjadi gaya busana kita sehari-hari saja, jadi kita mengajak semua orang untuk mulai mengenakan sarung di kehidupan sehari-hari mereka.”
Peran kaum muda, khususnya laki-laki muda, juga sangat penting. Karena sebagaimana yang dijelaskan Dina, dalam pengalamannya mengadakan acara untuk gerakan ini, mayoritas pesertanya adalah perempuan paruh baya yang dikhawatirkan malah akan memperkuat narasi bahwa sarung merupakan pakaian yang hanya dipakai oleh orang tua.
Kini, sepatu formal tidak hanya dikenakan dengan jas, tapi juga dengan jeans dan kaus, overall, atau celana pendek dan rok. Cara memakai sepatu formal di masa lalu kini ditingkatkan dan mereka bahkan bisa dipakai sehari-hari. Seiring dengan kembalinya popularitas gaya busana klasik, kini ada sisi kenyamanan dari pakaian formal yang menarik pasar yang lebih besar.
Penjualan sepatu formal untuk pria dan perempuan tumbuh dua digit pada 2022. Menurut Beth Goldstein, direktur eksekutif dan analis industri aksesori dan alas kaki di NPD Group, alas kaki hibrida yang menggabungkan siluet sepatu formal dengan sol a la sneaker juga meningkat signifikan dibandingkan tahun lalu dan sebelum pandemi. Data lain dari NPD menunjukkan bahwa penjualan pakaian santai dan sepatu performa turun masing-masing sebesar 11% dan 7% pada kuartal kedua 2022.
Sejarah munculnya stigma sarung
Stigma yang melingkupi sarung sebagai hal yang primitif atau inferior tidak muncul begitu saja, melainkan terjadi secara sistemik.
Pada 1872, pada masa penjajahan Belanda, terdapat peraturan yang mewajibkan penduduk di Indonesia untuk mengenakan pakaian etnis masing-masing di tempat umum. Ini berarti orang-orang keturunan Belanda harus memakai pakaian Eropa dan penduduk asli Indonesia harus memakai pakaian adat Indonesia.
Alasan di balik peraturan ini adalah untuk menonjolkan hierarki rasial dan sosial (secara berurutan yaitu Belanda, Cina, Indonesia) yang ada pada saat itu, dan oleh karenanya menciptakan suatu perbedaan busana untuk menunjukkan pihak mana yang berasal dari kelas atas dan bawah.
Di Jawa, perempuan sering terlihat mengenakan kebaya dan sarung batik, sedangkan perempuan Belanda mengenakan gaun dengan crinoline. Dalam perkembangannya, perempuan Belanda kemudian mulai mengenakan kain sarung dalam kesehariannya karena dianggap lebih cocok dipakai di cuaca Indonesia. Namun, sarung yang dipakai orang Belanda dan Indonesia tetap dibedakan.
Foto-foto di atas, yang bersumber dari Universiteitsbibliotheek Leiden dan Tropenmuseum, bagian dari National Museum of World Cultures (via Wikimedia Commons), menggambarkan gaya bersarung pada masa itu.
Orang-orang Belanda membuat desainnya sendiri yang terinspirasi dari bunga, kupu-kupu, atau cerita dongeng Eropa. Warnanya juga berubah menjadi lebih banyak warna pastel dibandingkan dengan warna coklat tua yang biasa ditemukan pada batik Jawa. Hal ini semakin memperkuat pandangan bahwa pakaian Indonesia, termasuk sarung, adalah pakaian yang tidak diinginkan.
Sarung di panggung fesyen global
Sarung sendiri bukan merupakan hal yang asing di panggung fesyen global. Banyak desainer yang sebelumnya telah memasukkan sarung ke dalam koleksi mereka, namun sarung dimasukkan lebih sebagai pakaian musiman daripada sebagai pakaian sehari-hari yang dapat dibeli pelanggan kapan saja.
Namun, tren rok untuk pria dalam fesyen yang ada saat ini mungkin dapat membuka jendela peluang bagi sarung untuk memasuki kancah fesyen global.
Tren ini masih berkaitan dengan gaya-gaya fesyen genderless yang belakangan ini sering diangkat di dunia fesyen global. Desainer seperti Willy Chavarria dan Luar memasukkan berbagai macam iterasi rok ke dalam busana pria di koleksi terbaru mereka. Bahkan, peritel global seperti ASOS sudah mulai menjual rok dalam kategori busana pria, menandakan tren ini telah memasuki dunia arus utama.
Dalam tren ini, sarung hadir sebagai salah satu dari variasi rok, seperti yang terlihat di koleksi musim semi 2023 GmbH, di mana sarung sutra putih dengan motif huruf Arab dipasangkan dengan kemeja putih kontemporer.
Dengan semakin bernuansanya pakaian pria, Dina setuju bahwa hal ini membuka peluang bagi sarung, tidak hanya untuk lebih diterima sebagai pilihan pakaian pria kontemporer, tetapi juga untuk memasuki panggung global. Apalagi mengingat sarung di Indonesia secara tradisional telah dipakai baik oleh perempuan maupun laki-laki.
Munculnya tren ini juga menunjukkan bahwa tujuan dari gerakan “Sarong is My New Style” kini semakin relevan.
Namun, Dina merasa bahwa untuk mencapai tingkat internasional, harus ada komitmen yang kuat dari industri fesyen Indonesia. “Desainer harus mulai memasukkan sarung sebagai basic item dalam koleksi mereka dan sekolah mode harus mulai memasukkan sarung (ke dalam kurikulum mereka). Jika banyak orang yang mulai memakai sarung, lama kelamaan, orang-orang pasti akan mau memakainya juga. Jadi, inilah tugas kita untuk menyampaikan pesan ini kepada masyarakat.”