Bootcamp: Skema tipu-tipu atau resep karier gemilang?
Ditulis oleh Hani Fauzia Ramadhani | Read in English
Di masa sekolah dulu, ketika ditanya cita-cita, pasti yang muncul di benak kita adalah profesi yang ingin kita lakoni saat dewasa. Tidak terbayang saat itu, bagaimana peliknya memilih jurusan kuliah, mencari dan mendapatkan pekerjaan, kemudian menyadari bahwa pekerjaan tersebut kurang cocok atau tidak sesuai ekspektasi. Kemudian dimulailah babak baru proses pindah jalur karier.
Mendapatkan pekerjaan tanpa latar belakang pendidikan atau pengalaman kerja di bidang yang relevan sangat sulit. Ini sebabnya, banyak orang yang berbondong-bondong mengikuti berbagai program pelatihan intensif, yang sering disebut bootcamp. Program-program pelatihan ini biasanya menyuguhkan materi mendalam sekaligus praktik dalam bidang-bidang yang sedang naik daun dan digadang-gadang punya peluang kerja besar. Di antaranya adalah digital marketing, UX/UI design, data analytics, serta software engineering.
Peminat melonjak, penyelenggara bootcamp makin kompetitif
TFR berbincang dengan Dio Anamia, seorang independent human resources (HR) consultant, untuk mengulik lebih lanjut soal ramainya bootcamp saat ini. Dio yang telah lebih dari lima tahun berkecimpung di bidang rekrutmen pekerja untuk berbagai perusahaan dalam dan luar negeri ini merasa perkembangan tren bootcamp ini memang cukup drastis dalam lima tahun terakhir.
“Dulu bisa dibilang cukup jarang orang yang mau investasi sebesar belasan juta untuk ikut bootcamp. Di Indonesia salah satu pionirnya adalah Purwadhika, yang memang terpercaya karena kualitas lulusannya. Mereka juga bekerja sama dengan banyak perusahaan untuk job placement. Nah, sekarang ini penyedia bootcamp makin banyak dan peminatnya juga membludak. Tidak mungkin semuanya bisa menjamin penempatan kerja buat setiap peserta, kan? Jadi memang sebelum mendaftar harus menyesuaikan ekspektasi dulu dan riset mendalam tentang penyedia bootcamp yang mau diikuti,” paparnya.
Namun, Dio melanjutkan, dirinya melihat dua alasan utama orang mengikuti bootcamp. “Selain untuk career switching, banyak juga yang merasa perlu punya skill tambahan. Misalnya aku sebagai HR, selain skill yang berkaitan langsung dengan per-HR-an, juga punya kebutuhan untuk bisa olah data. Kebutuhan ini aku dapatkan lewat bootcamp juga,” tuturnya.
Bagaimana lulusan bootcamp di mata recruiter?
“Sebenarnya ini kembali lagi ke kebutuhan perusahaan, ya. Ada yang memang spesifik mencari talent dengan pengalaman sekian tahun. Tapi ada juga perusahaan yang memang menyasar para lulusan bootcamp, karena mereka terbukti sudah mengikuti programnya dan ada portofolionya juga, tapi karena pengalaman profesional di bidang tersebut belum ada, jadi gajinya di bawah mereka yang berpengalaman. Jadi ini strategi perusahaan dalam cost-saving juga,” jelas Dio.
Dalam merekrut lulusan bootcamp, Dio menjabarkan beberapa hal yang biasanya ia pertimbangkan. “Saat lihat pelamar mencantumkan sertifikat dan portofolio bootcamp, pastinya aku akan eksplorasi lagi soal proses pembuatan portofolio itu dan ada additional test juga berupa study case untuk dikerjakan. Nantinya yang dinilai bukan cuma hasil tesnya, tapi juga proses berpikirnya. Nah, lulusan bootcamp biasanya skill-nya sudah ada, tinggal dicek apakah proses berpikirnya sesuai dengan standarnya perusahaan yang merekrut,” ungkapnya.
Dibandingkan lulusan baru yang jurusan kuliahnya sesuai dengan posisi yang ada, Dio lebih memilih merekrut lulusan bootcamp karena keterampilan praktis mereka yang lebih mudah dinilai lewat portofolio. “Bagi yang baru lulus dan tidak ada pengalaman magang, hanya pengalaman organisasi kampus saja, dengan persaingan seperti saat ini, jujur akan cukup sulit untuk dapat kerja. Selain karena kita lagi ada di situasi bonus demografi, beberapa industri bisnis juga lagi mengalami pengurangan tenaga kerja, sehingga banyak posisi entry level yang diisi oleh orang-orang dengan pengalaman kerja bertahun-tahun.”
Bootcamp sebagai jalan pintas pindah karier
Bagi Fara, SEO specialist di sebuah perusahaan yang menjual cairan untuk rokok elektronik, bootcamp sukses membantunya berpindah jalur karier. “Background pendidikan aku yaitu Ekonomi Pembangunan, nggak ada hubungannya sama sekali dengan pekerjaan saat ini. Aku memutuskan career switch dengan tiga pertimbangan. Yang pertama, cakupan pekerjaan di bidang yang sesuai dengan jurusan kuliahku sangat terbatas kalau nggak ada skill tambahan. Kedua, setelah aku pikir matang-matang ingin kerja sebagai apa, aku menemukan jawaban bahwa kerja sesuai jurusan kuliahku bukanlah jawabannya. Terakhir, aku lihat pekerjaan di industri digital salah satunya SEO ini cukup terbuka lebar untuk lulusan mana pun. Akhirnya aku memutuskan ikut bootcamp untuk menambah skill dan career switch,” ceritanya.
Fara sempat mengikuti dua bootcamp, yaitu full-stack digital marketing dan SEO specialist yang ditawarkan dua penyelenggara berbeda. “Bootcamp digital marketing yang aku ikuti berdurasi enam bulan; tiga bulan belajar dan tiga bulan apprenticeship dan job seeking. Biayanya sekitar Rp13.000.000. Sementara bootcamp kedua yaitu SEO Specialist lama programnya sekitar 1,5 bulan. Aku ambil program ini karena ingin fokus bangun portofolio hands-on experience karena kita diminta membuat real project. Untuk program yang ini biayanya nggak sampai Rp1.000.000,” tambahnya.
Bagi Fara, bootcamp yang diikutinya berpengaruh sekitar 80% untuk membantunya mendapatkan pekerjaan sebagai career switcher. Dia berujar, “Bagi aku yang selama kuliah tidak mendapatkan materi ataupun pelajaran mengenai hal yang aku geluti sekarang, bootcamp merupakan jawaban dan jalan pintas yang sangat membantu aku selama proses banting setir karier.” Tak hanya materi dan praktik yang membantu memupuk keterampilannya, bootcamp juga menghubungkannya dengan banyak orang dari industri yang diincar. Bahkan, pekerjaannya yang sekarang pun ia dapatkan berkat koneksi yang dijalinnya selama program.
Fara merasa dirinya termasuk orang yang cukup beruntung bisa mendapatkan pekerjaan penuh waktu tidak lama setelah lulus bootcamp. “Cukup berat persaingannya karena untuk posisi yang sama di entry level itu diperebutkan oleh orang-orang yang sudah punya pengalaman kerja terkait, para fresh graduates dari jurusan yang sesuai, dan lulusan bootcamp atau mereka yang selesai magang di bidang yang sama,” paparnya. Kemauannya untuk mendalami materi dan praktik di luar program bootcamp serta kelihaiannya membangun jejaringlah yang membuat pintu kesempatan terbuka lebih lebar bagi Fara.
Ekspektasi vs realitas peserta bootcamp
Berbeda dengan Fara, Shabrina yang bekerja sebagai social media officer di sebuah perusahaan rintisan pernah mengikuti bootcamp tapi bukan dengan tujuan berpindah haluan profesi. Saat menjalani program, Shabrina sudah bekerja di bidang yang sama dengan yang digelutinya saat ini. Harapannya waktu itu adalah untuk memperdalam pengetahuan dan tren di bidang media sosial.
“Cuma karena waktu itu aku nggak menemukan bootcamp yang fokus di media sosial, akhirnya ikut full-stack digital marketing yang di dalamnya ada materi media sosial. Durasinya sekitar empat bulan untuk belajar dan dua bulan untuk penempatan magang atau penggarapan project. Program ini biayanya sekitar Rp16.000.000,” paparnya.
Sayangnya, pengalaman Shabrina tidak sepenuhnya positif dalam menjalani bootcamp ini. Dari awal, ia memang mengincar materi media sosial yang dijanjikan akan dibawakan oleh seseorang dari salah satu perusahaan rintisan unicorn. Namun, ternyata materi tersebut dibawakan oleh orang lain dari perusahaan berbeda. “Padahal aku pengen banget belajar dari mentor tersebut, berhubung objektif media sosial di tempatku bekerja dan perusahaan mentor itu cukup berkaitan.” Ia melanjutkan, “Dan ternyata mentor incaranku itu mengisi sesi lain di program lain, tapi aku tidak diperbolehkan ikut sesinya.”
Selain itu, ia pun merasa materi yang diberikan dan contoh-contoh yang dipaparkan selama program terlalu spesifik. “Bagi aku yang mendalami digital marketing dan media sosial untuk mendongkrak angka pengguna aplikasi dan pengunjung website, banyak materi dan contoh yang kurang nyambung karena hampir semuanya fokus ke berjualan produk. Ruang untuk bertanya dan diskusi pun nggak terlalu luas. Padahal akan sangat oke kalau materinya lebih general sehingga mudah dikaitkan dengan berbagai sektor,” tambahnya.
Shabrina mengamati, beberapa bootcamp memang tidak secara eksplisit dan jujur menjelaskan programnya akan cocok untuk siapa, tentunya karena faktor bisnis di mana pihak penyelenggara program ingin menjaring sebanyak-banyaknya peserta. “Jadi baiknya sebelum daftar bootcamp, pastikan dulu ke pihak penyelenggaranya bahwa materi yang disampaikan dan konteksnya akan cocok dengan industri yang ingin kita geluti. Aku menyesal nggak memperjelas itu di awal,” jelas Shabrina.
Dio berpesan, dalam memilih penyelenggara bootcamp, sangat penting untuk melihat profil para mentor atau pengajarnya, silabusnya, layanan tambahan selain materi, serta absorption rate lulusannya – kemudian pastikan lagi semua hal tersebut ke contact person penyelenggara bootcamp tersebut untuk memperkecil risiko kekecewaan yang mungkin terjadi.