Mengenal punk lebih dekat: Lebih dari sekadar anti-kemapanan
Ditulis oleh Elma Adisya | Read in English
God save the queen
We mean it, man
There is no future
In England's dreaming
No future, no future,
No future for you
“God Save the Queen”, salah satu tembang paling ikonik dari band punk asal Inggris Sex Pistol, merupakan kritik keras mereka terhadap monarki Inggris kala itu. Perilisan lagu ini sangat berani, lantaran dikeluarkan pada perayaan Silver Jubilee Ratu Elizabeth II pada 7 Juni 1977. Silver Jubilee merupakan perayaan ke-25 tahun diangkatnya Ratu Elizabeth II sebagai Ratu Inggris pada 6 Februari 1952.
Konsep rilisnya pun membagongkan; band yang dikepalai oleh Sid Vicious ini mencoba menyanyikan lagu ini di atas kapal bernama The Queen Elizabeth yang bakal berlayar di sungai Thames dekat Istana Westminster. Sayangnya, aksi ini gagal dan semua kru ditangkap.
Sex Pistol hanyalah satu di antara ikon subkultur punk yang berkembang pada pertengahan 1970-an. Kata “punk” sendiri pertama kali muncul pada awal 1970-an, yang digunakan untuk menjelaskan cara berpakaian dan sebuah aliran musik.
Aliran musik punk berkembang pertama kali di Amerika Serikat dan Inggris pada 1976-1977. Lagu-lagu para penyanyi beraliran punk ini membawa semangat subkultur punk, yaitu anti-kemapanan; sebuah sikap yang menolak segala bentuk ketertiban atau struktur yang dianggap menghambat kebebasan individu dan menyebabkan ketidakadilan sosial. Paham ini juga mengkritik keras sistem kapitalisme dan otoritas pemerintah, serta menjunjung tinggi persamaan dan kebebasan ekspresi tiap individu.
Isu anti-kapitalisme berkembang menjadi isu sosial
Semangat subkultur punk ini kemudian berkembang menjadi representasi atas beragam isu sosial dalam masyarakat, termasuk isu perempuan. Salah satu band punk ikonik pada masa awal punk berkembang pada 1970-an yang menyuarakan isu perempuan adalah The Slits.
The Slits merupakan band punk asal London yang terbentuk pada 1976. Lagu mereka “Typical Girls” yang dirilis pada 1979 merupakan komentar sosial band tersebut terhadap peran gender kaku perempuan dalam masyarakat yang menuntut perempuan bersikap pasif, submisif, dan hanya menjadi hiasan belaka.
Lagu ini bisa dibilang merupakan lagu kebangsaan penting punk feminis pada masanya yang mengajak perempuan untuk membebaskan diri dari ekspektasi-ekspektasi masyarakat terhadap perempuan.
Tak hanya soal ketimpangan peran gender dalam masyarakat, saat itu juga banyak lagu-lagu dari band punk yang menyuarakan seksualitas perempuan, salah satunya lagu dari band punk The Raincoats, yaitu “The Voids”. Lagu yang dirilis pada 1981 tersebut menggambarkan nafsu seksual dan kenikmatan perempuan dan menegaskan bahwa perempuan juga berhak untuk mengekspresikan nafsu dan menikmati seks dengan definisi mereka masing-masing.
Mau membahas isu kekerasan seksual? Tentu ada juga. Lagu dari band punk asal Amerika Serikat, L7, yang berjudul “Surf Goddess” yang rilis pada 1992 menceritakan isu kekerasan seksual yang terjadi di pantai. Lagu ini mendorong perempuan untuk melawan kekerasan seksual yang mereka alami dan merebut kembali kuasa atas tubuh mereka.
Suarakan ketimpangan sosial, tapi tak ramah perempuan
Akan tetapi, dedikasi perempuan dalam skena punk ini ternyata dipandang sebelah mata oleh sebagian orang-orang di dalamnya. Mengutip laporan The Guardian, salah satu penyebabnya adalah kuasa dan pengaruh kelompok laki-laki dalam skena punk yang tidak berbuat apa-apa untuk membantu mengurangi ketimpangan dalam subkultur ini.
Sebuah hal yang ironis mengingat semangat awal punk adalah anti-ketimpangan sosial, namun realitanya secara global, skena punk masih dilihat sebagai tempat super maskulin yang tidak ramah perempuan.
Dalam penelitiannya, Katherine Barner menjelaskan bahwa pada awal punk mulai berkembnag pada 1970-an, subkultur ini memang memberikan perempuan wadah untuk bermain musik yang mereka inginkan, namun bukan berarti perempuan tidak mengalami diskriminasi, seksisme, dan misoginisme dalam skena punk.
Apalagi, kita tahu bahwa salah satu tokoh punk ikonik, Sid Vicious, pernah membunuh pacarnya. Selain itu, banyak lagu punk yang masih menggunakan bahasa-bahasa yang merendahkan perempuan. Misoginisme tak hanya terjadi di dalam skenanya saja; media massa juga turut andil dalam memberikan pandangan seksis terhadap band punk perempuan dengan mengomentari tubuh ketimbang karya mereka. Betul, perempuan masih dianggap sebagai komoditas dan objek yang bertujuan untuk mempercantik saja.
Belum lagi soal “moshing”, sebuah tarian di mana orang-orang dalam kerumunan saling menabrakan diri dan melambaikan tangan secara agresif dan didominasi oleh laki-laki yang tubuhnya secara fisik lebih besar dan kuat dibanding perempuan. Ini membuat mereka berpotensi menyakiti perempuan di dalam keramaian tersebut.
Dalam riset Ednie Kaeh Garrison, Jennifer Niro dari band punk The Nuns menjelaskan bagaimana skena punk menjadi tempat berbahaya bagi perempuan saat subkultur ini berkembang pada era 70-an.
“Di kemudian hari, subkultur ini malah menjadi kultur hardcore macho, padahal punk bukan seperti itu. Awalnya banyak perempuan yang berpartisipasi dan melakukan banyak hal di skena, namun setelahnya skena ini malah menjadi sangat macho dan anti-perempuan. Setelahnya, banyak perempuan yang takut menonton band punk, karena mereka takut terbunuh. Bahkan saya sendiri tidak pergi karena skena itu begitu macho dan menjijikan,” ujar Niro dalam riset tersebut.
Namun, terlepas dari tantangan besar yang dihadapi para punker perempuan, mereka tetap berusaha menyuarakan keresahan mereka dan mendobrak kultur maskulinitas toksik dalam skena ini.
Bagaimana dengan skena musik punk Asia?
Seiring dengan menyebarnya subkultur punk ke seluruh pelosok dunia, punk juga mulai masuk dan diamini oleh anak-anak muda di Asia. Skena punk di benua ini memiliki keunikan, semangat, dan tantangan yang beragam di tiap negaranya.
Di Jepang, aliran ini mulai berkembang pada akhir 70-an menuju awal 80-an seiring dengan perkembangan punk di Barat. Mereka banyak menambahkan elemen noise rock, musik avant-garde, dan musik eksperimental. Di Tiongkok, aliran ini berkembang di bawah tekanan dan sensor pemerintah. Sebagian besar lagu-lagu mereka banyak ditujukan untuk mengkritik pemerintah dan tentu banyak juga mendapat backlash setelahnya.
Bukan cuma di Asia Timur saja, skena musik punk juga berkembang dan beririsan dengan gerakan sosial politik di di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, serta Filipina. Lagu-lagu mereka banyak yang mengangkat tema ketimpangan sosial, korupsi, dan isu-isu sosial lainnya. Seperti halnya perkembangan punk di Barat, isu sosial yang diangkat di skena punk Asia juga berkembang dan mulai membicarakan soal permasalahan perempuan Asia sehari-hari.
Salah satu contohnya adalah band punk perempuan asal Jepang, CHAI, dengan lagu mereka “NEO KAWAII”. Dalam lagu tersebut, band punk yang terbentuk pada 2012 ini berkomentar tentang perempuan yang tidak perlu mengikuti standar masyarakat menjadi kawaii atau imut, karena seharusnya kawaii memiliki beragam tipe dan semua perempuan itu kawaii dengan jalan mereka masing-masing.
Pada akhirnya, punk tetap sesuai dengan “kodratnya” menjadi gerakan yang menyuarakan isu sosial, walaupun apa dan untuk siapa isu sosialnya ternyata berubah dalam perkembangannya. Begitu pula dengan pergerakan skena punk di Tanah Air, yang juga memiliki keunikannya tersendiri, menghadapi permasalahan sosial dan budaya yang sangat Indonesia. Selengkapnya tentang ini akan TFR bahas lengkap dalam bagian ke-2 dari seri artikel ini dalam beberapa waktu mendatang.