Cerita di balik K-pop dance cover, hobi yang sarat akan miskonsepsi
Ditulis oleh Rahma Yulita & Olivia Nabila | Read in English
Siapa yang sering melihat beragam dance challenge di TikTok setiap kali ada idol yang comeback? Atau, video dance cover di YouTube yang biasa ditonton sampai jutaan kali yang bahkan dilihat oleh idolanya langsung?
Itu hanya sebagian contoh kecil dunia K-pop dance cover yang saat ini semakin berkembang. Berbeda dengan dulu, kini entertainment K-pop pun memberikan kesempatan untuk dancers yang ingin mencoba cover lagu artisnya dengan membuka serangkaian kompetisi dance cover.
Salah satunya grup K-pop dance cover BLACKPINK dari Indonesia, Pink Panda, yang berhasil menjadi juara ke-2 dalam kompetisi dance yang diadakan oleh YG Entertainment untuk lagu “Kill This Love” milik BLACKPINK.
Prestasi yang semakin diapresiasi membuat dance cover semakin berkembang dan diminati. Kehadiran K-pop sebagai genre musik yang mulai diterima pun menjadi kunci berkembangnya standar dan kualitas konten dance cover.
Awalnya hanya komunitas kecil, sekarang jadi banyak diminati
Komunitas dibangun untuk mengumpulkan orang-orang yang memiliki minat dan hobi yang sama. Hal ini juga yang mendasari hadirnya berbagai komunitas di lingkup K-pop, salah satunya dance cover.
Perubahan zaman, kemajuan teknologi, dan hadirnya pandemi menjadi faktor pendorong perkembangan komunitas dance cover yang semakin pesat. Menurut Chandra, pendiri komunitas K-pop dance cover Invasion DC, generasi awal tahun 2009-an merupakan generasi di mana komunitas masih memiliki ikatan yang kuat antara satu anggota dan lainnya.
Memasuki periode 2011-2013 ketika boyband dan girlband Indonesia bermunculan, genre K-pop menjadi lebih dikenal dan mendorong kemunculan tim baru yang orientasinya bukan ke komunitas lagi, melainkan lebih ke komersial atau mencari ketenaran.
Tahun 2015 seakan jadi titik yang menggabungkan komunitas dengan tim yang bermunculan tadi, di mana mereka mulai menyatu dan punya tolok ukur yang lebih baik dari sekadar menari.
Saat pandemi, acara-acara K-pop mulai sepi dan membuat fokus ke kompetisi berubah untuk membuat konten di TikTok dan YouTube. “Fenomenanya di 2022 dan 2023, sekarang event udah mulai diberlakukan lagi, video di media sosial pun semakin ramai juga, dan mulai didominasi oleh anak-anak kecil,” jelas Chandra.
Regenerasi pun terjadi di balik layar K-pop dance cover. Banyaknya orang yang tertarik menjadi bagian dari komunitas membuat komunitas membuka kesempatan bagi mereka untuk bergabung.
Chandra menceritakan antusiasme orang-orang yang ingin bergabung di komunitasnya. Melalui audisi yang diselenggarakan, ada 900 orang yang mendaftar. Dari angka tersebut, sekitar 300-an hadir ke audisi langsung dan hanya 30 orang yang diterima menjadi anggota baru.
Mulai dari menari dan cosplay hingga bikin cover untuk video musik
Natya Shina, seorang dancer yang juga aktif di kancah K-pop dance cover sejak 2010, mengatakan bahwa perbedaan yang paling dirasakan untuk konten dance cover dulu dan sekarang yaitu output yang dihasilkan. Menurutnya, dulu dance cover berjalan dari hobi yang dilakukan dengan “seadanya”. Tapi sekarang, output yang dihasilkan menjadi lebih “niat”.
Tidak hanya menari, K-pop dance cover sekarang seakan menuntut kelompok dan komunitas untuk menghasilkan cover yang memiliki nilai lebih, seperti membuat parodi video musik semirip mungkin dengan artis aslinya.
“Secara konten bedanya mungkin sekarang karena udah dijadikan sesuatu yang bisa dibilang kayak bisnis, jadi semuanya lebih niat. Kalau bikin cover, kita cari tempat yang benar-benar mirip, outfit-nya disamain, pokoknya niat lah. Beda sama dulu yang seadanya banget karena hobi aja,” jelasnya.
Dera, anggota dance cover dari komunitas White Family, mengatakan, kalau dulu tampil dengan kaus oblong sudah cukup, sekarang bisa dibilang sangat biasa. “Kita sekarang dituntut untuk tampil semirip mungkin sama idol-nya, entah dari kostum, gaya rambut, hingga looks-nya; jadi cosplayer tapi versi K-pop,” tambahnya.
Untuk biaya, Natya bercerita bahwa satu proyek video musik bisa menghabiskan hingga Rp30 juta. Ia mengatakan, “Budget-nya dipakai buat bikin outfit, sewa lokasi, equipment shooting (kamera, lighting, dan lain-lain), properti, sampai konsumsi buat semua orang yang terlibat di project itu.”
Dari hobi untuk hobi, jutaan views bukan untuk “uang”
Usaha yang lebih “niat” dengan eksekusi yang lebih baik seringkali memberikan rewards yang membanggakan, seperti jutaan kali ditonton di YouTube dengan banjiran komentar yang mendukung cover tersebut.
Namun, hal ini tak jarang menimbulkan miskonsepsi bahwa dance cover merupakan hobi yang mendatangkan banyak keuntungan, contohnya melalui adsense di YouTube dengan jutaan kali ditonton tersebut.
Apalagi dengan banyaknya properti untuk menjalankan suatu proyek, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Biasanya sebuah proyek bisa berjalan dengan menggunakan uang pribadi atau kas komunitas. Jika nama komunitas mulai dikenal, barulah sponsor perlahan-lahan datang.
Lalu, apakah benar dance cover bikin kaya?
“Dance cover, MV reaction, cover lagu K-pop itu nggak ada uangnya. Meskipun yang nonton video kita jutaan orang, kita tetap nggak dapat uang dari situ,” jelas Natya.
Caca, ketua komunitas K-pop dance cover White Family, mengatakan bahwa monetisasi bukan tujuan dari pembuatan konten dance cover. Menurutnya, “Ada monetisasi, tapi nggak untuk semua video karena dance cover ada copyright-nya. Yang biasanya dimonetisasi paling video lain yang modelnya seperti vlog. Jadi, monetisasi di YouTube nggak sebesar itu buat komunitas.”
Bagaimana dengan hak ciptanya?
Sama seperti lukisan dan lagu, koreografi termasuk salah satu objek perlindungan hak cipta (salah satu bagian dari kelompok besar Hak Kekayaan Intelektual). Perlindungan ini secara jelas disebutkan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Meskipun begitu, tidak semua koreografi dapat dilindungi. Ingat lagu “Single Ladies (Put A Ring On It)” milik Beyonce? Koreografi dalam video musik tersebut pada 2020 telah memperoleh hak ciptanya. Bagaimana cara JaQuel Knight selaku koreografer mendaftarkannya? Pada dasarnya, setiap koreografi yang dipertunjukkan sudah memenuhi salah satu syarat perlindungan hak cipta, yaitu fiksasi, yang berarti ide yang dituangkan dalam bentuk nyata.
Selain itu, pengunggahan musik video tersebut ke dalam YouTube juga sudah memenuhi prinsip deklarasi, yang membantu mencatat tanggal pertama publikasi koreografi tersebut, yang nantinya akan membantu klaim orisinalitas dari sebuah koreografi. Jika koreografi tersebut terbukti orisinal, maka secara otomatis telah memperoleh perlindungan hak cipta tanpa harus dicatatkan. Dengan demikian, perlindungan hak cipta memberikan hak ekonomi dan moral kepada penciptanya.
Layaknya sebuah barang, perlindungan terhadap hak cipta dapat beralih dan dialihkan. Maka, tidak jarang dalam satu musik video terdapat beberapa perlindungan hak cipta di dalamnya, seperti terhadap lagu dan koreografi. Makna dialihkan ini berkaitan dengan hak ekonomi pemiliknya. Hak ekonomi dalam hak cipta sendiri bermacam-macam, bisa berupa hak untuk memperjualbelikan, mempertunjukkan, dan lainnya.
Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang melakukan dance cover? Apakah mereka memiliki hak cipta atas gerakan yang mereka tampilkan? Jawabannya tidak. Pasalnya, koreografi tersebut dimiliki oleh koreografer dan bisa jadi memiliki hak cipta bila telah memenuhi syarat-syarat di atas.
Lantas, apakah mereka melakukan pelanggaran hak cipta? Selama dance cover tersebut tidak ditujukan untuk meraup keuntungan ekonomi, maka tidak ada pelanggaran yang terjadi. Namun, sekarang ini banyak artis yang mengajak penggemar atau khalayak ramai untuk turut berpartisipasi dalam dance challenge musik mereka. Tentunya hal ini dianggap sebagai bentuk apresiasi dari karya mereka.